Sejarah dan Asal Usul Melayu di Kota Singkawang Kalimantan Barat
misterpangalayo.com - Terletak di pesisir barat Kalimantan, Singkawang bukan sekadar kota transit. Kota ini berada pada titik silang strategis antara Kesultanan Sambas di utara dan kawasan tambang emas Monterado Bengkayang di selatan, sekaligus menghadap langsung ke Laut Natuna, yang menghubungkannya dengan jalur maritim menuju Sarawak, Semenanjung Malaya, dan Tiongkok Selatan.
Posisi geografis yang demikian menjadikan Singkawang sejak masa awal sebagai pelabuhan alami bagi kapal-kapal dagang dan pelaut dari berbagai penjuru Asia Tenggara. Kapal dagang Bugis, perahu Melayu, hingga jung-jung Tiongkok kerap singgah di pesisir ini untuk mengambil air, memperbaiki kapal, atau melakukan barter hasil bumi dan barang dagangan.
Sebagai penghubung antara jalur sungai dari pedalaman (Sungai Selakau, Sungai Raya) dan jalur laut Natuna, Singkawang berkembang sebagai simpul perdagangan. Hasil hutan, emas dari Monterado, rotan, dan damar dikumpulkan di sini, lalu didistribusikan ke luar wilayah melalui laut.
Letaknya yang terbuka dan fungsinya sebagai kota dagang menjadikan Singkawang ruang percampuran budaya dan etnis:
-
Melayu sebagai penduduk pesisir dan pelaut.
Dayak Salako dan Kanayatn dari pedalaman pegunungan dan hulu sungai.
-
Tionghoa Hakka, yang mulai menetap sejak masa tambang Monterado abad ke-18, membawa pengaruh budaya, teknologi pertanian, dan jaringan dagang.
Dari sinilah Singkawang tumbuh bukan hanya sebagai kota niaga, tapi juga kota budaya, tempat ragam kepercayaan, bahasa, dan ritual hidup berdampingan. Singkawang adalah mikrokosmos dari interaksi pesisir-pedalaman-maritim di Kalimantan Barat. Ia menyimpan peran penting dalam jalur logistik kolonial, persebaran budaya, hingga sejarah awal kerajaan-kerajaan lokal seperti Panembahan Balai Pinang yang masih menjalin komunikasi dengan komunitas Singkawang melalui jalur sungai dan dagang.
Siapa Melayu Singkawang?
Melayu Singkawang (Sub Melayu Sambas) adalah sebuah komunitas masyarakat Muslim berbahasa Melayu Sambas yang tumbuh melalui proses asimilasi historis, percampuran etnis, dan melayunisasi budaya lokal di pesisir barat Kalimantan, khususnya di kawasan Singkawang dan sekitarnya.
Komunitas ini bukan etnis homogen, tetapi hasil dari pertemuan panjang antara berbagai unsur yaitu Melayu pesisir, Dayak pedalaman, dan Tionghoa perantau. Dalam ruang sosial yang dinamis, terbentuklah identitas Melayu Singkawang sebagai identitas budaya yang terbuka dan cair, bukan semata-mata berdasar garis keturunan.
Ciri Khas Melayu Singkawang:
-
Islam sebagai Basis KeyakinanKomunitas ini umumnya memeluk Islam, baik karena warisan leluhur, dakwah sejak masa Kesultanan Sambas, maupun karena proses konversi dari kepercayaan lokal melalui pernikahan campur dan relasi sosial.
-
Bahasa Melayu Dialek LokalMelayu Singkawang menuturkan Bahasa Sambas dengan dialek khas yang sangat mirip dengan Melayu Sarawak, tetapi telah berbaur dengan kosakata Dayak dan pengaruh fonetik Tionghoa, terutama dalam konteks percakapan harian.
-
Adat Melayu-Islam yang LenturPraktik adat mereka menunjukkan ciri adat Melayu Islam, seperti dalam pernikahan, kenduri, dan hukum adat. Namun, mereka juga menyerap unsur budaya lokal dan Tionghoa, misalnya dalam kuliner, seni, atau sistem kekerabatan.
-
Identitas Budaya, Bukan Keturunan MurniIdentitas "Melayu" di Singkawang tidak selalu berdasarkan garis darah, melainkan lebih merupakan kategori sosial dan budaya. Seseorang yang memeluk Islam, memakai Bahasa Melayu Dialek Sambas, dan menjalani adat Melayu bisa dianggap sebagai bagian dari komunitas ini meskipun leluhurnya Dayak atau Tionghoa.
Melayu sebagai Proses, Bukan Status Tetap
Dalam konteks Singkawang dan Kalimantan Barat, "menjadi Melayu" adalah proses budaya. Ini bisa terjadi melalui:
-
Pernikahan campur (misalnya, Dayak-Muslim atau Tionghoa-Muslim).
Masuk Islam dan hidup dalam komunitas Melayu.
-
Mengadopsi adat Melayu secara sosial.
Proses ini disebut oleh sebagian antropolog sebagai melayunisasi, yaitu transformasi identitas seseorang atau kelompok menjadi bagian dari komunitas Melayu melalui pengalaman hidup dan adaptasi budaya. Melayu Singkawang adalah jembatan antara pedalaman dan pesisir, antara Dayak, Tionghoa, dan Melayu, antara agama, adat, dan sejarah. Ia adalah bukti bahwa identitas bukan warisan statis, tapi hasil dari perjalanan kolektif manusia dalam berinteraksi dan hidup bersama.
![]() |
Budaya Melayu dari Kesultanan Sambas menjadi pedoman dalam masyarakat Melayu Singkawang |
Asal Usul Historis Melayu Singkawang: Proses Melayunisasi dan Etnogenesis
Identitas Melayu Singkawang bukanlah produk dari satu garis keturunan tunggal, melainkan hasil dari proses sejarah panjang yang melibatkan penyebaran agama, percampuran budaya, dan interaksi sosial yang kompleks. Salah satu proses utama yang membentuk komunitas ini adalah melayunisasi, yaitu proses transformasi sosial dan kultural di mana kelompok non-Melayu menjadi bagian dari komunitas Melayu melalui agama, bahasa, dan adat.
Pengaruh Kesultanan Sambas: Awal Penyemaian Budaya Melayu
Pada abad ke-17 hingga ke-19, kawasan pesisir Kalimantan Barat, termasuk Singkawang, berada di bawah pengaruh langsung Kesultanan Sambas, sebuah entitas politik yang bercorak Islam dan berbasis budaya Melayu.
Ulama, pedagang, dan bangsawan dari Kesultanan Sambas mulai menetap di wilayah pesisir selatan kerajaan, termasuk Singkawang, Paloh, dan Mempawah. Mereka membawa serta agama Islam, bahasa Sambas, serta struktur sosial yang bercirikan sistem kekerabatan patrilineal, adat musyawarah, dan hukum adat Islam. Dalam proses interaksi ini, komunitas Muslim lokal terbentuk, yang banyak berasal dari Dayak Salako dan Kanayatn yang memeluk Islam melalui dakwah dan pernikahan campur.
Dengan berlangsungnya generasi demi generasi, komunitas Muslim Dayak ini mulai mengidentifikasi diri sebagai "Melayu", karena mereka telah menganut agama Islam, berbicara dalam dialek Melayu, dan menjalani kehidupan dalam tatanan adat Melayu.
Islamisasi Dayak Lokal dan Etnogenesis Melayu
Di Kalimantan, termasuk Singkawang, Bengkayang dan Sambas (Sambas Raya), identitas etnis sering kali lentur dan lebih ditentukan oleh agama, bahasa, dan adat dibanding semata-mata darah atau garis keturunan biologis.
Suku Dayak yang tinggal di wilayah pesisir dan memeluk Islam secara bertahap mulai meninggalkan identitas lama mereka dan mengadopsi identitas Melayu. Proses ini bukan penyeragaman, melainkan asimilasi sosial yang berlangsung secara alamiah dan damai. Proses ini disebut oleh para peneliti sebagai etnogenesis, yaitu proses pembentukan identitas etnis baru yang tumbuh dari perubahan struktur sosial, agama, dan bahasa.
Beberapa ciri khas dari proses etnogenesis di Singkawang:
- Agama Islam sebagai fondasi identitas baruMasuknya Islam menjadi penanda awal perubahan sosial dan budaya. Masyarakat mulai mengadopsi praktik keagamaan baru, seperti salat, puasa, dan perayaan hari besar Islam.
-
Bahasa Sambas menggantikan bahasa ibu dalam konteks publik dan adatBahasa Melayu Sambas tidak hanya menjadi bahasa ibadah, tapi juga bahasa perdagangan, hukum, dan pergaulan. Ini memperkuat kesan "ke-Melayu-an".
-
Adat Melayu menggantikan struktur adat lama secara bertahapUpacara adat, struktur keluarga, dan hukum adat mulai disesuaikan dengan nilai-nilai Islam dan kebiasaan Melayu, seperti penggunaan istilah "datuk", "penghulu", atau "tok imam".
Dengan kata lain, Melayu di Kota Singkawang bukanlah etnis murni, melainkan identitas sosial hasil akumulasi sejarah, sebuah produk dari pertemuan Dayak, Melayu, dan Islam yang berjalan selama berabad-abad.
Mereka tidak selalu berasal dari "darah Melayu", tapi dari perjalanan menjadi Melayu. Identitas ini adalah cerminan fleksibilitas budaya Kalimantan, yang memungkinkan keberagaman tetap hidup dalam satu komunitas. Maka, menyebut diri "Melayu" di Singkawang bukan sekadar pengakuan etnis, tetapi juga pengakuan terhadap agama, bahasa, adat, dan sejarah.
Peran Melayu dalam Perkembangan Kota Singkawang
Sebelum dikenal sebagai kota multietnis yang maju dan dinamis seperti sekarang, Singkawang adalah sebuah wilayah pesisir yang dihuni oleh komunitas Melayu Muslim. Peran mereka sangat signifikan dalam membentuk wajah awal wilayah ini, baik secara sosial, ekonomi, maupun spiritual. Keberadaan mereka bukan hanya sebagai penghuni, tetapi sebagai penggerak utama dalam transformasi Singkawang dari sebuah perkampungan nelayan menjadi cikal bakal kota pelabuhan dan pusat budaya.
Komunitas Melayu merupakan pemukim awal di kawasan pesisir Singkawang. Mereka membuka dan mengelola berbagai kampung tradisional seperti:
-
Kuala: Merupakan titik awal pusat aktivitas pelayaran dan perdagangan kecil. Di sinilah arus keluar-masuk barang dan manusia mulai terkonsolidasi.
Sedau: Perkampungan tua yang menjadi tempat bertemunya budaya Melayu dengan komunitas lokal Dayak dan pendatang Tionghoa.
-
Pasir Panjang: Awalnya merupakan kawasan budidaya dan ladang pesisir, yang berkembang menjadi kawasan pemukiman penting.
Kampung-kampung ini tumbuh sebagai basis permukiman Melayu yang dilengkapi dengan surau, langgar, dan balai adat, menandai munculnya struktur sosial yang mapan. Letak geografis Singkawang yang strategis di antara tambang emas Monterado dan pelabuhan pesisir Laut Natuna menjadikan komunitas Melayu sebagai perantara dagang antara:
-
Pedalaman: Barang-barang seperti emas, rotan, damar, dan hasil hutan dari wilayah Bengkayang, Monterado, dan Sanggau Ledo dibawa ke Singkawang untuk diperdagangkan.
Pesisir dan luar pulau: Pedagang dari Sambas, Pontianak, dan bahkan dari Tionghoa dan Bugis singgah di Singkawang untuk mengakses hasil bumi dan bahan tambang dari pedalaman.
Melayu Singkawang memainkan peran penting dalam memediasi perdagangan, memfasilitasi logistik, dan bahkan mengatur keamanan jalur dagang. Mereka adalah jembatan ekonomi yang membuat Singkawang menjadi simpul perdagangan regional. Komunitas Melayu juga berperan penting dalam Islamisasi wilayah pesisir dan sekitarnya. Mereka tidak hanya membangun masjid dan surau, tapi juga menyelenggarakan pendidikan agama melalui:
-
Surau: Tempat shalat dan pendidikan agama informal, tempat anak-anak belajar mengaji.
Madrasah: Pendidikan formal berbasis Islam yang mulai muncul seiring bertambahnya jumlah penduduk Muslim.
-
Peran tokoh agama: Ulama dan tokoh Melayu menjadi penjaga moral komunitas dan penyambung nilai-nilai adat dengan ajaran Islam.
Penyebaran Islam oleh orang Melayu tidak bersifat memaksa, tetapi berjalan melalui pendekatan kultural, dakwah damai, dan pernikahan antar komunitas. Hal ini menyebabkan proses Islamisasi berlangsung secara alamiah dan diterima luas, bahkan di kalangan Dayak dan Tionghoa Muslim.
Kontak Budaya dengan Tionghoa dan Dayak: Mosaik Multietnis Singkawang
Salah satu ciri paling khas dari Singkawang hari ini adalah keragamannya yang hidup dan harmonis. Kota ini bukan hanya dikenal sebagai wilayah pesisir, tetapi juga sebagai ruang pertemuan tiga budaya besar: Melayu, Dayak, dan Tionghoa. Sejak abad ke-18, interaksi lintas etnis di Singkawang telah menciptakan satu fenomena sosial yang unik: identitas Melayu Singkawang yang inklusif dan cair.
Migrasi besar-besaran orang Tionghoa, khususnya etnis Hakka, ke wilayah Singkawang terjadi sejak pertengahan abad ke-18. Mereka datang untuk bekerja di tambang emas Monterado, Bengkayang, dan sekitarnya. Seiring waktu, para pendatang Tionghoa ini tidak hanya tinggal di wilayah tambang, tapi juga mendirikan permukiman di sekitar pesisir, termasuk Singkawang.
Di sinilah awal mula kontak intensif antara komunitas Tionghoa dan Melayu. Mereka bertemu dalam:
Kegiatan dagang: Tionghoa dikenal sebagai pedagang dan pengusaha, sementara Melayu sebagai perantara pelabuhan dan distributor barang dari pedalaman.
-
Lingkungan sosial sehari-hari: Hidup bertetangga, bermitra, dan saling mengandalkan dalam ekosistem lokal.
-
Perkawinan campuran: Menjadi jembatan biologis dan kultural yang kuat antara dua komunitas.
Banyak anak hasil perkawinan campuran Melayu–Tionghoa dibesarkan dalam lingkungan budaya Islam. Dalam konteks lokal, mereka:
-
Diberi nama Melayu-Islam
Berbahasa Melayu
-
Mempraktikkan adat Melayu dan ajaran Islam
Secara sosial dan adat, anak-anak ini kemudian dianggap bagian dari komunitas Melayu Singkawang. Maka identitas Melayu tidak terbatas pada garis keturunan biologis, tetapi lebih pada pola hidup, agama, bahasa, dan budaya sehari-hari.
Fenomena serupa terjadi pada komunitas Dayak Salako dan Kanayatn yang memeluk Islam. Ketika mereka mengadopsi Bahasa Melayu, Adat Melayu-Islam, dan Struktur sosial Melayu (seperti sapaan, gelar, sistem gotong royong).
Maka secara sosial mereka pun dikategorikan sebagai Melayu, atau lebih tepatnya “Melayu Baru”. Identitas ini bukan bentuk pemaksaan, melainkan hasil dari proses integrasi kultural yang panjang dan alami. Dari proses-proses panjang ini, lahirlah apa yang kini dikenal sebagai Melayu Singkawang sebuah identitas sosial yang terbentuk dari interaksi, bukan dari darah semata.
Dengan demikian, Melayu Singkawang bukanlah identitas yang eksklusif, melainkan jembatan budaya yang terbuka bagi siapa pun yang mengadopsi nilai, bahasa, dan praktik hidup Melayu-Islam di kawasan ini.
Melayu Singkawang adalah bukti bahwa identitas tidak selalu diturunkan, tapi juga bisa tumbuh dan dibentuk bersama. Ia lahir dari pertemuan, bukan dari pengasingan. Ia inklusif, adaptif, dan merepresentasikan wajah asli Singkawang yang kosmopolit.
Bahasa Melayu Singkawang
-
Bahasa Melayu Singkawang adalah dialek Melayu lokal yang sangat mirip dengan Melayu Sambas dan Sarawak barat.
-
Kosakatanya mengandung unsur pengaruh Dayak dan Tionghoa Hakka, namun tetap dalam struktur Melayu.
-
Bahasa ini menjadi bahasa sehari-hari dan simbol identitas, meski kini terdesak oleh Bahasa Indonesia.
Agama dan Adat: Jiwa Kolektif Melayu Singkawang
Bagi masyarakat Melayu Singkawang, agama dan adat adalah dua sisi dari mata uang yang sama tak terpisahkan dan saling menguatkan. Islam menjadi fondasi keyakinan, sementara adat Melayu menjadi kerangka sosial yang mengatur perilaku, etika, dan hubungan antarmanusia. Keduanya berpadu membentuk identitas kolektif yang religius, sopan, dan penuh makna simbolik.
Mayoritas Melayu Singkawang menganut Islam Sunni, dan banyak di antara mereka masih menjunjung tinggi ajaran tasawuf (sufisme) yang diwariskan dari para ulama dan mursyid tarekat pada masa Kesultanan Sambas. Tradisi ini membentuk karakter religius masyarakat Melayu yang lembut, spiritual, dan penuh penghormatan kepada ulama dan leluhur.
Beberapa ciri khas spiritualitas Melayu Singkawang:
-
Tahlilan dan Maulid Nabi rutin dilaksanakan, tidak hanya sebagai ibadah, tetapi juga bentuk silaturahmi dan solidaritas sosial.
Zikir berjemaah dan wirid menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, terutama pada malam Jumat.
-
Makbarah (makam keramat) ulama dan tokoh adat dihormati dan dijaga sebagai bagian dari warisan spiritual komunitas.
Adat bagi Melayu Singkawang bukan sekadar tradisi turun-temurun, tetapi sistem nilai yang mengatur kehidupan dari lahir hingga wafat. Ia meliputi tata cara berpakaian, berbicara, bermusyawarah, hingga perayaan dan duka cita.
Berikut beberapa praktik adat yang masih lestari adalah Pernikahan Adat Melayu dengan prosesi pernikahan Melayu penuh dengan simbol dan makna adat:
-
Adat Tepung Tawar: ritual pensucian dan doa keselamatan bagi pengantin
Berinai: malam menjelang akad, diisi dengan syair, petuah adat, dan ritual estetika
-
Tabuh Kompang dan Marhaban: pengiring suasana bahagia bernuansa religius
SelainPernikahan Adat Melayu juga ada musyawaray adat kampung dimana setiap kampung atau komunitas adat memiliki lembaga musyawarah yang berfungsi menyelesaikan konflik, menetapkan keputusan kolektif, dan menjaga keseimbangan sosial. Keputusan biasanya diambil berdasarkan petuah adat, ayat suci, dan kesepakatan bersama (muafakat).
Islam dan adat saling melengkapi dalam berbagai perayaan:
-
Maulid Nabi, Isra Mikraj, dan Hari Raya Idulfitri diperingati dengan khataman, arak-arakan, dan jamuan bersama.
Tahlilan diadakan pada malam-malam tertentu untuk mendoakan leluhur, sekaligus memperkuat ikatan sosial warga.
Meski beragama Islam, Melayu Singkawang tetap merawat ritus-ritus budaya lokal yang dianggap sebagai bentuk syukur kepada Tuhan:
-
Sedekah Laut dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada alam, khususnya laut sebagai sumber rezeki.
Syukuran Panen adalah ekspresi rasa terima kasih atas hasil bumi, diiringi doa bersama dan jamuan kampung.
Di tangan Melayu Singkawang, Islam bukan hanya ibadah, tetapi juga budaya. Adat bukan sekadar kebiasaan, tapi pancaran nilai dan tata kelola hidup. Keduanya membentuk masyarakat yang religius sekaligus menghargai harmoni, spiritual sekaligus sosial.
![]() |
Kota Singkawang adalah bekas ibukota administratif Kabupaten Sambas |
Wilayah Persebaran Melayu di Kota Singkawang
Melayu Singkawang mendiami berbagai kawasan, antara lain:
Sedau – kampung pesisir tua.
-
Pasir Panjang – dikenal dengan nelayan dan budaya maritimnya.
-
Kuala dan Semelagi – pusat awal komunitas Muslim.
-
Kampung Melayu dan Kampung Tengah – di pusat kota Singkawang.
![]() |
Rumah Adat Melayu Kota Singkawang |
Kesimpulan: Melayu Singkawang, Identitas yang Tumbuh dari Persimpangan Sejarah
Komunitas Melayu di Kota Singkawang bukanlah sekadar reproduksi dari identitas Melayu pesisir seperti Sambas atau Pontianak. Mereka adalah hasil dari proses sejarah yang kompleks dan penuh dinamika, pertemuan antara Islamisasi dari Kesultanan Sambas, asimilasi dengan masyarakat Dayak dan Tionghoa, serta penyesuaian dengan realitas sosial dan geografis Singkawang sebagai kota transit dan multietnis.
Identitas Melayu Singkawang dibentuk melalui:
- Proses Islamisasi: Ulama dan bangsawan dari Sambas menyebarkan agama, bahasa, dan tatanan sosial Islam-Melayu ke komunitas lokal.
- Etnogenesis dan Asimilasi: Komunitas Dayak Muslim dan anak-anak hasil perkawinan campur Tionghoa-Melayu perlahan melebur ke dalam struktur budaya Melayu melalui agama, bahasa, dan adat.
- Penciptaan Identitas Sosial Baru: Melayu Singkawang bukan sekadar etnis biologis, melainkan identitas sosial yang terbuka, inklusif, dan terbentuk melalui nilai bersama: Islam, adat, dan bahasa Melayu.
Melayu Singkawang adalah simbol keberhasilan integrasi budaya di Borneo Barat. Mereka menunjukkan bahwa Melayu bukan sekadar warisan darah, tetapi pilihan hidup, nilai, dan cara berpikir yang adaptif, religius, dan menghargai keragaman.
Dengan memahami Melayu Singkawang secara lebih mendalam, kita tidak hanya melihat satu komunitas, tetapi juga membaca bagaimana sejarah, budaya, dan agama berpadu dalam membentuk jati diri masyarakat di Nusantara.
Tidak ada komentar:
Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta
Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:
1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan