Menelusuri Jejak Leluhur Kerajaan Dayak Gunung Bawang di Kalimantan Barat
misterpangalayo.com - Di balik lebatnya hutan tropis Kalimantan Barat, terdapat gunung yang bukan hanya menjadi penyangga kehidupan ekologis, tetapi juga pusat spiritual dan sejarah etnis Dayak yaitu Gunung Bawang. Di kawasan inilah, para penutur sejarah lisan menyebut adanya Kerajaan Dayak Gunung Bawang sebuah entitas adat, politik, dan budaya yang menjadi penanda eksistensi masyarakat Dayak jauh sebelum masa kolonial.
Meskipun tidak tercatat dalam kitab sejarah besar seperti Pararaton atau Nagarakretagama, Kerajaan Gunung Bawang hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Dayak Bakati, Dayak Salako, Dayak Kanayatn dan sub-suku lainnya, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui ritual, adat, dan simbol-simbol budaya.
![]() |
Peta Wilayah Administratif Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat |
Lokasi dan Latar Geografis
Gunung Bawang terletak di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, Indonesia, dekat dengan perbatasan Sarawak, Malaysia Timur. Wilayah ini merupakan dataran tinggi yang subur dan dikelilingi hutan tropis serta sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Dayak.
Pusat kekuasaan kerajaan diyakini berada di wilayah perbukitan sekitar Gunung Bawang, mencakup beberapa kampung adat yang kini tersebar di Bengkayang, Ledo, dan sekitarnya.
“Gunung Bawang bukan hanya tempat tinggal para leluhur, tetapi juga pusat kekuasaan adat yang dihormati,” kata salah satu tokoh adat Dayak Bakati.
![]() |
Ramin Bantang Kabupaten Bengkayang (Foto: Siti Mustiani) |
Asal Usul dan Silsilah Legendaris
Tidak seperti kerajaan Melayu yang memiliki catatan tertulis, sejarah Kerajaan Dayak Gunung Bawang dilestarikan melalui cerita rakyat dan tradisi lisan. Menurut narasi leluhur, pendiri kerajaan adalah seorang tokoh karismatik yang mendapat “wahyu” dari roh gunung untuk memimpin komunitas. Ia dikenal dengan nama Tun Bujang, seorang pemimpin spiritual dan politis yang disegani.
Dalam sistem adat Dayak, pemimpin tertinggi disebut “Panglima Adat” atau “Tumenggung”, yang bertugas mengatur masyarakat, menyelesaikan konflik, menjaga hukum adat (adat sang jamu), serta memimpin upacara spiritual penting.
Sistem Pemerintahan: Adat sebagai Konstitusi
Pemerintahan di Kerajaan Gunung Bawang tidak mengikuti model monarki absolut seperti yang dikenal di banyak kerajaan besar Nusantara. Sebaliknya, sistem ini lebih menyerupai federasi adat yang berlandaskan kearifan lokal dan spiritualitas. Setiap kampung yang dikenal sebagai banua memiliki otonomi tersendiri dalam mengatur urusan sosial, ekonomi, hingga ritual keagamaan. Namun, seluruh banua tetap mengakui Gunung Bawang sebagai pusat spiritual dan kedaulatan utama.
Struktur Kekuasaan Adat
-
Tumenggung (Raja Adat)Merupakan pemimpin tertinggi yang tidak hanya berperan sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai spiritual dan adat. Seorang Tumenggung dipilih berdasarkan garis keturunan serta legitimasi spiritual yang diakui oleh para Tua Adat.
-
PatihBerfungsi sebagai tangan kanan Tumenggung dalam urusan kenegaraan. Patih bertugas sebagai penasihat utama, pelaksana kebijakan, serta juru diplomasi antara banua maupun dengan kekuatan luar yang datang.
-
Panglima PerangPemegang komando atas pertahanan wilayah adat. Panglima Perang bertanggung jawab atas pelatihan dan penggerakan pasukan tradisional, serta menjaga batas teritorial dari ancaman luar.
-
Tua Kampung / PanggauSetiap banua dipimpin oleh seorang Tua Kampung yang bertanggung jawab penuh atas kehidupan masyarakat lokal. Mereka berperan sebagai mediator sosial, pengelola hasil bumi, dan pelindung adat istiadat setempat.
Musyawarah Adat: Demokrasi Asli Nusantara
Keputusan-keputusan besar dalam pemerintahan tidak bersifat sepihak. Semua urusan strategis harus melewati Rapat Balai, forum musyawarah adat yang dihadiri oleh Tumenggung, Patih, Panglima Perang, dan para Tua Kampung. Forum ini menjunjung tinggi prinsip musyawarah dan mufakat, suatu bentuk demokrasi asli yang telah hidup jauh sebelum konsep demokrasi Barat masuk ke Nusantara.
Di sinilah adat menjadi konstitusi yang hidup. Setiap aturan, larangan, dan keputusan tertinggi tidak tertulis dalam kitab hukum, melainkan dijaga dalam ingatan kolektif masyarakat dan diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi.
Hukum Adat dan Etika Sosial: Menjaga Harmoni Dunia Nyata dan Gaib
Di Kerajaan Gunung Bawang, hukum bukan hanya sekadar seperangkat aturan yang mengatur hubungan antarmanusia. Ia adalah bagian dari sistem kepercayaan yang lebih besar, jembatan antara dunia manusia, alam, dan roh leluhur. Hukum adat di sini tidak ditulis di atas lembaran naskah, melainkan hidup dalam ingatan para Tua Adat, diwariskan melalui cerita, ritual, dan praktik sehari-hari.
Cakupan Hukum Adat
Hukum adat Kerajaan Gunung Bawang mencakup berbagai aspek kehidupan, di antaranya:
-
Hukum Keluarga: Mengatur pernikahan, warisan, dan hak-hak dalam hubungan kekerabatan.
Hukum Lingkungan: Menetapkan batas-batas larangan terhadap perusakan hutan, sungai, dan gunung yang dianggap sakral.
-
Hukum Pidana Adat: Mengatur sanksi terhadap pencurian, kekerasan, penghinaan adat, serta pelanggaran tabu (pamali).
Contoh Hukuman Adat
-
Mencuri→ Dikenakan ganti rugi kepada korban dan keluarganya. Setelah itu, pelaku harus menjalani upacara pemulihan harmoni (ngampur adat), sebagai bentuk rekonsiliasi spiritual dengan masyarakat dan alam.
-
Melanggar Pamali→ Pelanggaran terhadap tabu tertentu, seperti melanggar wilayah keramat atau berkata tidak sopan di tempat sakral, bisa dikenai denda adat berupa hasil bumi, hewan, atau logam mulia. Dalam kasus berat, pelaku bisa dikenai pengasingan sementara hingga alam dianggap "memaafkan".
-
Menghina Leluhur atau Merusak Pusaka Adat→ Dikenakan ritual pembersihan jiwa dan tempat (biasanya dipimpin oleh pemuka spiritual), serta kewajiban persembahan khusus kepada roh leluhur sebagai bentuk permintaan maaf.
Hukum sebagai Penjaga Keseimbangan
Yang membedakan hukum adat Gunung Bawang dengan sistem hukum modern adalah pandangannya terhadap pelanggaran. Bagi masyarakat adat, setiap pelanggaran bukan hanya berdampak sosial, tetapi juga mengganggu keseimbangan kosmis antara manusia, alam, dan dunia roh.
Ketika hukum adat dilanggar, bukan hanya individu yang terkena dampaknya—seluruh komunitas bisa mengalami nasib buruk, seperti gagal panen, bencana alam kecil, atau sakit yang dianggap “datang dari dunia gaib”.
Inilah sebabnya penegakan hukum adat tidak bersifat represif, melainkan restoratif: mengembalikan harmoni, bukan sekadar menghukum. Etika sosial ditanamkan sejak dini, bukan melalui ancaman, tetapi melalui cerita rakyat, upacara, dan penghayatan spiritual.
![]() |
Gunung Bawang (Foto: Siti Mustiani) |
Gunung Bawang: Pusat Spiritualitas dan Titik Sambung Tiga Dunia
Bagi masyarakat adat di wilayah Kalimantan Barat, Gunung Bawang bukan sekadar bentang alam yang menjulang megah di cakrawala. Ia adalah poros semesta navel of the world titik pusar dunia yang menghubungkan langit, bumi, dan alam roh. Keyakinan ini telah diwariskan turun-temurun, hidup dalam ritus, simbol, dan laku kehidupan masyarakat Dayak di sekitarnya.
Tempat Bersemayamnya Leluhur
Gunung Bawang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Di puncak dan lereng-lereng tertentu, terdapat lokasi-lokasi keramat yang tidak boleh dikunjungi sembarangan. Hanya pada waktu-waktu khusus, seperti saat ritual Gawai Bide Bahu, masyarakat adat diperbolehkan melakukan pendakian suci untuk menyampaikan rasa syukur, memohon ampun, atau memohon restu bagi tahun-tahun yang akan datang.
Upacara Gawai Bide Bahu sendiri merupakan ritus pembersihan jiwa dan alam, sekaligus bentuk syukur atas panen dan kehidupan yang telah diberikan. Upacara ini bukan hanya sakral, tapi juga menjadi penanda kohesi sosial dan spiritual masyarakat adat.
Gunung sebagai Simbol Kosmos
Dalam kosmologi Dayak, gunung bukan hanya bagian dari bumi, ia adalah sumbu semesta, menghubungkan tiga lapisan dunia:
-
Langit, tempat para dewa dan energi ilahi berada.
Bumi, dunia manusia dan makhluk hidup.
-
Alam gaib, tempat para roh leluhur dan arwah yang belum kembali.
Gunung Bawang, dalam hal ini, berfungsi sebagai penghubung antara dunia yang terlihat dan yang tak kasatmata. Oleh sebab itu, ia diperlakukan dengan penuh penghormatan dan kehati-hatian. Suara keras, kata-kata kotor, atau tindakan yang tidak pantas di sekitar gunung dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap dunia roh.
Tradisi Ziarah yang Masih Hidup
Hingga hari ini, ziarah tahunan ke Gunung Bawang masih dijalankan oleh komunitas adat yang menjaga warisan leluhur mereka. Para peziarah biasanya membawa sesajen tradisional seperti beras kuning, ayam kampung, tembakau, dan sirih pinang sebagai bentuk penghormatan dan persembahan kepada roh-roh penjaga gunung.
Mereka berdoa untuk:
-
Panen yang melimpah dan tanah yang subur
Perlindungan dari penyakit dan bencana
-
Keseimbangan dalam hidup bersama komunitas
-
Kedamaian antara manusia dan alam
Dalam kesunyian kabut pagi Gunung Bawang, suara doa dan nyanyian adat menyatu dengan alam. Di sanalah spiritualitas Dayak menemukan nadinya mengakar dalam tanah, menjulang ke langit, dan hidup di hati generasi penerus.
Ekonomi dan Perdagangan Lokal: Harmoni dengan Alam dan Jaringan Pesisir
Terletak di jantung perbukitan Kalimantan Barat, masyarakat Kerajaan Gunung Bawang membangun sistem ekonomi yang berakar kuat pada kearifan alam. Meski secara geografis berada di wilayah pegunungan yang relatif terpencil, komunitas Dayak di sini telah lama menjalin jaringan perdagangan aktif dengan kawasan pesisir dan lintas batas, menciptakan sistem ekonomi yang mandiri namun terbuka terhadap interaksi luar.
Sumber Penghidupan: Alam sebagai Lumbung
Sebagian besar masyarakat hidup dari:
-
Pertanian LadangSistem berladang berpindah menjadi ciri khas. Mereka menanam padi ladang, ubi, keladi, dan sayur-mayur sesuai musim dan kesuburan tanah. Ladang dibuka secara musyawarah dan disucikan dengan ritual adat agar harmonis dengan alam.
-
Berburu dan MeramuHutan Gunung Bawang menyediakan sumber pangan dan obat-obatan alami. Aktivitas berburu rusa, babi hutan, serta meramu buah, jamur, dan akar-akar hutan dilakukan dengan prinsip pengambilan secukupnya agar tidak merusak keseimbangan ekosistem.
-
Hasil Hutan Non-KayuKomoditas seperti damar, rotan, madu hutan, dan gaharu menjadi hasil dagang bernilai tinggi. Produk ini dikumpulkan secara tradisional dan diolah secukupnya, kemudian dibarter atau dijual dalam hubungan dagang antarsuku.
-
Kerajinan TanganMasyarakat Dayak Gunung Bawang dikenal akan keindahan manik-manik tradisional, ukiran kayu bermotif sakral, serta kain tenun dengan pewarna alami. Kerajinan ini tidak hanya berfungsi ekonomi, tapi juga menjadi ekspresi budaya dan spiritualitas.
Jaringan Perdagangan Tradisional
Meski berlokasi di wilayah pegunungan, masyarakat Gunung Bawang tidak hidup dalam isolasi. Sejak masa lampau, mereka telah menjalin hubungan dagang dengan berbagai kelompok etnis di wilayah pesisir:
Suku Sambas dan Melayu Pontianak: Menukarkan hasil hutan dan kerajinan dengan garam, kain, logam, dan barang-barang kebutuhan lain dari luar.
-
Lintas Batas ke Sarawak (Malaysia): Barter tradisional dilakukan dengan kelompok Dayak di seberang perbatasan melalui jalur hutan dan sungai, menjadikan wilayah ini sebagai simpul interaksi budaya lintas negara sejak lama.
Transaksi dilakukan secara barter atau tukar barang, dengan prinsip saling percaya dan tanpa adanya sistem mata uang formal. Pasar tradisional, baik musiman maupun tahunan, menjadi ajang pertukaran hasil bumi sekaligus pertemuan budaya dan informasi.
Ekonomi Berbasis Kearifan Lokal
Apa yang membedakan sistem ekonomi Gunung Bawang dari sistem ekonomi modern adalah nilai-nilai yang mendasarinya: keseimbangan, kebersamaan, dan keberlanjutan. Tidak ada eksploitasi berlebihan. Setiap hasil hutan dipungut dengan doa dan persembahan, agar alam tetap memberikan berkahnya di musim-musim mendatang.
Bukti Arkeologis dan Jejak Historis: Menguak Warisan Kerajaan Gunung Bawang
Meski belum banyak tersentuh oleh ekskavasi besar-besaran, Kerajaan Dayak Gunung Bawang menyimpan sejumlah situs budaya dan arkeologis penting yang mengisyaratkan keberadaan suatu peradaban tua dan terstruktur di jantung Kalimantan Barat. Di balik hening hutan dan kabut pegunungan, tersimpan jejak-jejak kehidupan masa lalu yang perlahan mulai terbaca oleh para peneliti budaya dan arkeolog lokal.
Situs-Situs Warisan Leluhur
-
Mak Tanah (Mak Tuha)Situs ini dipercaya sebagai kompleks pemakaman para Tumenggung dan pemimpin spiritual Kerajaan Gunung Bawang. Mak Tanah tidak hanya berfungsi sebagai tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga menjadi lokasi ziarah dan penghormatan kepada leluhur dalam upacara adat tertentu. Batu nisan alami dan susunan kayu ulin tua menjadi penanda kekuatan spiritual yang masih dipelihara hingga kini.
-
Batu KeringSebuah batu besar dan keramat yang digunakan dalam upacara pemanggilan roh leluhur. Batu ini sering menjadi pusat ritual spiritual, terutama saat masyarakat memohon petunjuk atau berkah dalam masa sulit. Batu Kering dipercaya memiliki hubungan kosmis langsung dengan dunia roh dan menjadi titik kontak antara alam manusia dan alam gaib.
-
Reruntuhan Rumah Panjang TuaBeberapa sisa struktur rumah panjang kuno ditemukan di wilayah hulu pegunungan. Rumah panjang ini menjadi bukti nyata dari sistem sosial komunal masyarakat Dayak Gunung Bawang, di mana satu bangunan dihuni oleh banyak keluarga dalam satu garis keturunan. Jejak pondasi kayu ulin dan tata letak ruangan menggambarkan kehidupan kolektif yang terorganisasi dan sakral.
Penelitian dan Potensi Sejarah yang Tersembunyi
Dalam beberapa tahun terakhir, peneliti budaya lokal dan arkeolog dari Kalimantan Barat mulai mengangkat kembali warisan Gunung Bawang sebagai bagian dari jaringan sejarah yang lebih luas. Ada dugaan kuat bahwa Kerajaan Gunung Bawang tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari konfederasi adat yang saling terhubung, membentang dari pegunungan ini menuju Hulu Kapuas, Ketungau, hingga wilayah Sintang.
Pola kesamaan dalam arsitektur rumah panjang, motif ukiran, kosmologi spiritual, dan istilah adat menjadi indikator bahwa pada masa lalu, telah terbentuk jaringan kerajaan adat yang berinteraksi melalui jalur sungai dan hutan.
Warisan yang Menanti Diungkap
Sebagian besar warisan ini masih tersembunyi di balik rimbun hutan dan belum terdokumentasi secara sistematis. Namun, upaya komunitas adat, akademisi lokal, dan pegiat budaya mulai membuka harapan baru. Dengan riset yang lebih mendalam dan pelibatan masyarakat adat sebagai pemilik warisan, Kerajaan Gunung Bawang dapat menjadi salah satu puzzle penting dalam sejarah peradaban pedalaman Kalimantan.
![]() |
Benteng Pertahanan Belanda di Bukit Vandreng |
Kolonialisme dan Kemunduran: Ketika Suara Adat Dipaksa Diam
Abad ke-19 menandai babak baru yang getir bagi Kerajaan Dayak Gunung Bawang. Meskipun wilayah ini tidak menjadi medan perang terbuka dalam ekspansi kolonial Belanda, pengaruh kekuasaan kolonial secara perlahan menekan akar-akar adat yang selama berabad-abad menjadi fondasi sosial dan spiritual masyarakat pedalaman Kalimantan Barat.
Penetrasi Senyap Administrasi Kolonial
Kolonialisme datang bukan dengan meriam, melainkan dengan aturan, peta, dan birokrasi. Pemerintahan Hindia Belanda mulai memperluas kontrolnya ke wilayah pedalaman melalui pembentukan pos administratif, pengangkatan kepala kampung bergaji (kepala afdeeling), dan penyebaran hukum kolonial yang seragam.
Struktur adat yang semula otonom dan berbasis spiritualitas mulai tergantikan oleh sistem administrasi sentralistik. Tumenggung tak lagi diakui sebagai pemimpin penuh wewenang. Patih, Panglima Adat, dan Tua Kampung perlahan dijadikan “pembantu pemerintah” alih-alih pemangku adat.
Larangan dan Perpecahan Sosial
Seiring berjalannya waktu, banyak ritual adat dinyatakan melanggar “ketertiban umum” oleh otoritas kolonial. Upacara besar seperti Gawai Bide Bahu dianggap menghambat produktivitas dan membangkitkan semangat kolektivisme yang ditakuti sebagai benih perlawanan.
Rumah panjang dibubarkan paksa. Gaya hidup komunal yang menjadi ciri khas masyarakat Dayak dianggap tidak efisien dan digantikan oleh hunian rumah-rumah kecil individu yang lebih mudah diawasi dan dipajaki.
Sistem Panglima Adat dilemahkan; banyak dari mereka yang kehilangan pengaruh atau bahkan diangkat secara sepihak oleh pemerintah kolonial tanpa restu masyarakat.
Adat yang Bertahan dalam Diam
Namun, kekuatan masyarakat Gunung Bawang tidak sepenuhnya runtuh. Di balik pembatasan dan pengawasan kolonial, adat istiadat terus hidup di hutan, di mimpi para tua adat, di nyanyian malam, dan di doa-doa diam para ibu.
Ritual-ritual besar memang disembunyikan, namun pengetahuan adat diwariskan secara lisan dan sembunyi, menunggu waktu untuk muncul kembali. Seperti akar pohon ulin yang tertanam dalam tanah basah hutan hujan tropis, roh dan jiwa adat Gunung Bawang tetap kuat meski tak tampak di permukaan.
Warisan Perlawanan Sunyi
Meskipun tak tercatat sebagai kerajaan yang melawan secara militer, Gunung Bawang adalah simbol perlawanan kultural—di mana adat tidak mati, hanya bersembunyi. Dan dalam sembunyinya, ia bertahan. Dalam bisu, ia menyusun kekuatan baru yang hari ini kembali terlihat melalui kebangkitan identitas Dayak dan pengakuan hak masyarakat adat atas tanah dan budaya mereka.
![]() |
Sumber Foto: kalimantantoday.com |
Warisan Hidup Hingga Kini: Adat yang Tak Pernah Padam
Meski zaman berganti, peta politik berubah, dan modernitas terus merambah hingga ke pelosok pedalaman, nyala adat Kerajaan Gunung Bawang belum pernah benar-benar padam. Di balik bayang-bayang sejarah dan heningnya rimba Kalimantan Barat, warisan leluhur Dayak Gunung Bawang terus hidup bernapas dalam budaya, bahasa, dan tanah yang mereka pijak hingga kini.
Tradisi yang Terus Bertahan
Hingga hari ini, masyarakat Dayak di wilayah Gunung Bawang masih mempertahankan identitas dan budaya mereka melalui:
- Bahasa Dayak Bidayuh beserta subdialek lokal yang menjadi penanda identitas lisan dan simbol kebanggaan komunitas. Bahasa ini masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari, upacara, dan nyanyian tradisional.
- Rumah Panjang Komunal yang menjadi jantung kehidupan sosial. Meski tidak sebesar zaman dahulu, beberapa rumah panjang masih berdiri dan dihuni secara kolektif oleh keluarga besar, menjadi simbol ketahanan struktur sosial komunal.
- Upacara Gawai Dayak dan Ritual Leluhur, seperti Gawai Bide Bahu, masih dilaksanakan setiap tahun sebagai bentuk syukur kepada Tuhan dan leluhur atas panen dan kehidupan.
- Musik Sape’ dan Tarian Tradisional, yang dimainkan dan dipentaskan dalam acara adat serta festival kebudayaan, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.
- Kearifan Lokal dalam Menjaga Alam, yang tercermin dari prinsip hidup selaras dengan hutan. Hutan bukan sekadar sumber pangan, tapi juga rumah spiritual, warisan, dan identitas.
Kebangkitan Identitas Dayak: Dari Diam Menjadi Gerakan
Pasca reformasi 1998, ketika ruang demokrasi dan pengakuan hak adat mulai dibuka, generasi muda Dayak Gunung Bawang bangkit dengan kesadaran baru. Mereka tak lagi malu menggunakan bahasa ibu, menari di pentas budaya, atau menyebut dirinya sebagai keturunan Tumenggung dan penjaga hutan.
Komunitas-komunitas lokal kini aktif dalam:
- Revitalisasi kerajaan adat dan struktur balai musyawarah tradisional.
- Pendidikan adat dan pelatihan bahasa ibu bagi anak-anak muda.
- Pelestarian Gunung Bawang sebagai kawasan budaya dan spiritual yang harus dijaga dari ancaman eksploitasi dan perusakan.
- Kolaborasi dengan peneliti dan lembaga budaya untuk mendokumentasikan sejarah lisan, situs-situs adat, serta filosofi hidup Dayak.
Menjaga Api yang Menyala Diam-diam
Warisan Kerajaan Gunung Bawang bukan tentang kemewahan istana atau kisah perang besar. Ini adalah warisan ketahanan kultural, di mana adat dan spiritualitas tetap hidup dalam diam, lalu bangkit dalam semangat zaman baru.
Di tengah arus globalisasi dan tekanan modernitas, Gunung Bawang berdiri tegak sebagai lambang kekuatan yang bersumber dari akar, bukan dari menara beton. Adat bukan masa lalu yang mati, tapi masa depan yang sedang dipulihkan.
Gunung Bawang Adalah Nadi Budaya Dayak
Kerajaan Dayak Gunung Bawang bukanlah dongeng masa lalu. Ia adalah identitas hidup yang berakar di tanah Kalimantan Barat dan berbuah dalam budaya masyarakat Dayak masa kini. Gunung Bawang bukan hanya puncak geografis, tetapi juga puncak spiritual dan historis dari sebuah bangsa yang menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan roh.
Menelusuri sejarah Gunung Bawang berarti menelusuri denyut nadi Kalimantan Barat yang asli, jujur, dan penuh makna.
Tidak ada komentar:
Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta
Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:
1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan