Jejak Sejarah Panembahan Balai Pinang di Hulu Sungai Selakau

misterpangalayo.com - Di pedalaman barat Pulau Borneo, tepatnya di Hulu Sungai Selakau kawasan Maya Sopa (Kota Singkawang) saat ini, pernah berdiri sebuah kerajaan kecil namun berpengaruh yang dikenal sebagai Panembahan Balai Pinang. Banyak yang belum mengetahui bahwa cikal bakal kerajaan ini memiliki keterkaitan kuat dengan Kerajaan Sambas Hindu atau yang dikenal dengan Kerajaan Ratu Sapudak, yang dulu menjadi pusat peradaban dan spiritualitas sebelum masuknya Islam dan berdirinya Kesultanan Sambas. Jejak ini merupakan bagian penting dari narasi sejarah Kalimantan Barat yang memadukan budaya Dayak, Melayu Hindu, dan pengaruh luar.

Ilustrasi Kondisi di Ibukota Kerajaan Sambas yang berada di Kota Lama Sambas (kini Kec. Galing, Sambas, Kalbar)

Kota Lama Sambas: Awal Mula Peradaban

Sebelum Kesultanan Sambas yang bercorak Islam berdiri pada abad ke-17, wilayah ini sudah memiliki akar peradaban yang kuat dan tertata. Jejak peradaban itu dapat ditelusuri ke Kerajaan Sambas Hindu, yang pusat pemerintahannya diyakini berada di wilayah yang kini disebut Kota Lama Sambas, tepatnya di Dusun Kota Lama, Desa Ratu Sepudak, Kecamatan Galing, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat.

Kerajaan Sambas Hindu dikenal sebagai entitas politik dan budaya yang berkembang di daerah pedalaman Sungai Sambas sebelum pengaruh Islam menyebar luas. Keberadaan kerajaan ini menandai awal mula pembentukan struktur kekuasaan lokal yang memiliki ciri khas tersendiri.

Ciri-ciri Peradaban Kerajaan Sambas Hindu:

Struktur kekuasaan berdasarkan bangsawan dan sistem kepercayaan Hindu
Penguasa kerajaan bergelar Panembahan, sebuah gelar yang menandakan penghormatan tinggi sekaligus kedekatan dengan unsur spiritual. Dalam sistem ini, raja dipandang sebagai perwujudan titisan dewa-dewa Hindu.

Ritual keagamaan dan pusat kebudayaan di pura-pura lokal
Di kawasan yang kini disebut Kota Lama, pernah berdiri sejumlah bangunan suci dan tempat pemujaan seperti pura dan punden yang digunakan untuk ritual keagamaan Hindu.

Jaringan perdagangan lintas laut
Kerajaan Sambas Hindu memiliki akses perdagangan yang luas melalui Sungai Sambas Besar, yang bermuara ke Laut Natuna. Ini memungkinkan hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan di Sumatra, Semenanjung Malaya, bahkan India.

Perjanjian dagang dengan VOC Belanda
Catatan Belanda menyebut adanya interaksi awal dengan penguasa lokal di wilayah Sambas. Meskipun belum dalam bentuk kekuasaan Islam, raja-raja Hindu Sambas sudah menunjukkan diplomasi aktif, termasuk menjalin perjanjian dagang dengan VOC.

Seiring masuknya pengaruh Islam ke wilayah Borneo Barat pada abad ke-16 hingga ke-17, peran kerajaan Sambas Hindu mulai melemah. Proses ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui akulturasi budaya, pernikahan politik, serta migrasi kekuasaan.

Sebagian bangsawan dan masyarakat Hindu kemudian bermigrasi ke pedalaman, membawa serta adat dan sistem pemerintahan yang pernah berlaku. Salah satu lokasi pelarian ini adalah Balai Pinang, yang kelak dikenal sebagai wilayah dengan komunitas Dayak-Hindu yang kuat, serta menjadi titik awal Panembahan Balai Pinang.

Jejak Migrasi Raja Sambas Hindu ke Hulu Sungai Selakau

Dalam proses transformasi politik dan budaya yang terjadi pada masa awal pembentukan Kesultanan Sambas sekitar abad ke-17, wilayah ini mengalami gelombang migrasi besar-besaran. Salah satu penyebab utama migrasi ini adalah perubahan struktur kekuasaan dari kerajaan Hindu yang berbasis pada sistem bangsawan tradisional dan kepercayaan lokal, menuju kesultanan Islam yang lebih terpusat dan bercorak religius.

Penolakan Halus, Migrasi Strategis

Sebagian kelompok masyarakat, terutama keturunan bangsawan, tokoh adat, dan pengikut kepercayaan lama, tidak serta-merta menolak perubahan, tetapi memilih menarik diri secara damai dari pusat kekuasaan baru. Mereka mencari daerah yang jauh dari pengaruh politik Kesultanan Sambas, namun tetap subur, strategis, dan memiliki makna spiritual serta historis.

Pilihan itu jatuh ke arah selatan ke kawasan berbukit dan berhutan lebat di sekitar Hulu Sungai Selakau, yang kini masuk wilayah perbatasan antara Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, dan Kota Singkawang, tepatnya di daerah Kelurahan Maya Sopa (Kota Singkawang).

ilustrasi letak Negeri Balai Pinang di selatan Kesultan Sambas (hulu Sungai Selakau)

Sungai Selakau: Tanah Baru Bangsawan Lama Sambas Hindu

Di lembah dan perbukitan Sungai Selakau Hulu inilah para pendatang baru mendirikan permukiman mandiri, melestarikan nilai-nilai leluhur, serta membentuk struktur sosial yang tetap mempertahankan adat lama namun beradaptasi dengan situasi baru. Kelompok ini dikenal memiliki:

  1. Struktur kemasyarakatan yang tetap mengakui sistem Panembahan, yakni pemimpin spiritual dan adat

  2. Ritus adat campuran, antara Hindu lama, kepercayaan lokal, dan pengaruh awal Islam

  3. Kontrol atas sumber daya alam seperti rotan, damar, kayu, dan hasil pertanian ladang

Di sinilah kelak muncul sebuah entitas lokal yang disebut sebagai Panembahan Balai Pinang.

Ilustrasi Keraton Negeri Balai Pinang di Hulu Sungai Selakau 

Berdirinya Panembahan Balai Pinang: Warisan Tersisa dari Bangsawan Kerajaan Sambas Hindu

Setelah gelombang migrasi dari Kota Lama Sambas menuju pedalaman Hulu Sungai Selakau pada masa awal berdirinya Kesultanan Sambas, muncullah sebuah entitas kekuasaan lokal yang tidak hanya unik, tapi juga sarat dengan makna sejarah dan spiritualitas. Wilayah baru ini kelak dikenal sebagai Panembahan Balai Pinang, yang berdiri sekitar akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18.

Panembahan ini bukan sekadar sebuah komunitas adat biasa di pedalaman. Ia adalah manifestasi dari perlawanan halus (resistensi kultural) terhadap sentralisasi kekuasaan dan Islamisasi yang terjadi di wilayah pesisir. Di Balai Pinang, identitas bangsawan Hindu Sambas tidak hilang, tetapi menjelma menjadi sistem pemerintahan semi-mandiri yang memadukan nilai leluhur dengan semangat hidup bersama masyarakat Dayak Salako.

hulu Sungai Selakau banyak ditumbuhi pohon Pinang

Asal-Usul Nama Balai Pinang: Simbol dari Hutan yang Bernyawa

Menurut cerita turun-temurun dari tetua adat Dayak Salako, pendirian Balai Pinang diawali oleh seorang pemimpin lokal dari Kota Lama Galing, yang kemudian diangkat sebagai pemimpin spiritual dan adat melalui prosesi pengakuan bersama komunitas. Setelah mendapat pengesahan adat dan legitimasi dari kerajaan pesisir (kemungkinan Kesultanan Sambas), ia membuka sebuah permukiman baru di tengah hamparan pohon-pohon pinang yang tumbuh lebat di tepian Sungai Selakau.

Dari situlah lahir nama “Balai Pinang” perpaduan antara:

Balai: tempat bermusyawarah, pusat pemerintahan adat, dan lokasi pertemuan spiritual.

Pinang: tanaman khas Kalimantan yang sejak lama dianggap simbol kemakmuran, keteguhan, dan kesuburan budaya.

Nama ini tidak hanya merujuk pada lokasi fisik, tetapi juga mencerminkan cita-cita lahirnya pusat kekuasaan baru di tengah hutan tropis Kalimantan, yang menolak dilupakan dan memilih untuk berakar dalam identitasnya sendiri.

Keturunan Bangsawan Hindu Sambas: Menjaga Warisan dalam Sunyi

Pemimpin pertama Panembahan Balai Pinang diyakini sebagai keturunan langsung bangsawan Hindu Sambas, mereka yang memilih untuk tidak tunduk pada struktur pemerintahan Islam yang sedang bertumbuh di pusat kekuasaan Sambas. Namun mereka juga tidak melawan secara frontal. Sebaliknya, mereka membawa warisan nilai, ritus, simbol kekuasaan, dan sistem adat ke wilayah baru, lalu merawatnya dalam sunyi, jauh dari pusat politik, tetapi tidak jauh dari roh nenek moyang.

Asimilasi: Dari Penjaga Warisan Menjadi Penjembatan Budaya

Agar bisa bertahan hidup dan diterima di tanah baru, komunitas ini tidak menutup diri. Mereka melakukan asimilasi bertahap, dan dari sinilah lahir sebuah sintesis budaya yang menjadi ciri khas Panembahan Balai Pinang:

  1. Mengadopsi adat Dayak Salako, terutama dalam struktur sosial, relasi antarsuku, dan penghormatan terhadap alam, hutan dianggap sakral, sungai dipuja sebagai urat nadi kehidupan.
  2. Menerima pengaruh Islam awal, yang masuk melalui jalur perdagangan dan pernikahan. Doa-doa mulai mengandung unsur zikir, dan nama anak-anak menggabungkan unsur lokal dan Islam.

  3. Membangun tatanan hibrid, di mana pengaruh Hindu, Islam, dan adat Dayak hidup berdampingan bukan dalam konflik, tetapi dalam harmoni.

Yang lahir dari hutan dan pinang itu bukan hanya sebuah kampung adat. Ia adalah simbol bahwa identitas tidak perlu hilang untuk bisa hidup berdampingan. Panembahan Balai Pinang adalah refleksi dari strategi bertahan bangsawan lokal: tetap memegang adat lama, namun cukup bijak untuk menyerap yang baru. Maka tidak heran jika hingga kini, masyarakat sekitar Hulu Sungai Selakau masih menyimpan kisah dan ritual yang memadukan Hindu kuno, Islam awal, dan adat Dayak dalam satu kesatuan yang harmonis.

Ciri Khas Panembahan Balai Pinang

Panembahan Balai Pinang merupakan bentuk kekuasaan lokal yang unik dan mencerminkan percampuran budaya yang kaya. Berbeda dari Kesultanan Sambas yang berorientasi maritim dan sentralistik, Panembahan Balai Pinang tumbuh di pedalaman dengan tatanan sosial dan spiritual yang khas. Berikut adalah ciri-ciri utamanya:

Sistem Pemerintahan Semi-Feodal dengan Gelar Panembahan

Gelar Panembahan menjadi lambang otoritas tertinggi dalam struktur pemerintahan Balai Pinang. Meski wilayah kekuasaannya terbatas, peran Panembahan sangat dihormati sebagai pemimpin spiritual, penjaga adat, dan penengah masyarakat. Sistem ini menyerupai pola feodalisme lokal, di mana hubungan antara pemimpin dan rakyat dijalin melalui ikatan adat, warisan leluhur, dan nilai kebersamaan.

Balai Adat sebagai Pusat Pemerintahan dan Spiritualitas

Balai adat berfungsi sebagai jantung kehidupan komunitas. Di sinilah berbagai keputusan penting diambil, sengketa diselesaikan melalui musyawarah adat, dan upacara-upacara suci digelar. Balai ini bukan hanya ruang fisik, tapi juga ruang sakral yang menjadi tempat bertemunya nilai-nilai warisan Hindu lama dengan sistem adat Dayak Salako dan pengaruh Islam awal. Arsitekturnya sederhana, namun penuh simbolisme budaya.

Adat Istiadat yang Memadukan Warisan Hindu, Islam Awal, dan Budaya Dayak Salako

Ritual-ritual di Panembahan Balai Pinang sering menunjukkan lapisan-lapisan kepercayaan:

  1. Pemujaan roh leluhur dan kosmologi berbasis elemen Hindu kuno

  2. Penyisipan doa dan syair keagamaan Islam dalam prosesi adat

  3. Penghormatan terhadap alam, hutan, sungai, dan batu keramat sebagai ciri khas spiritualitas Dayak Salako

Ini menjadikan Balai Pinang sebagai contoh akulturasi budaya yang hidup dan harmonis, tanpa kehilangan identitas asalnya.

Penggunaan Bahasa Melayu dan Dialek Lokal

Dalam percakapan resmi, upacara, hingga pengucapan ikrar adat, masyarakat Balai Pinang menggunakan Bahasa Melayu yang telah berasimilasi dengan dialek Dayak Salako. Bahasa ini tidak hanya sebagai alat komunikasi, tapi juga berfungsi sebagai media pewarisan nilai, sejarah, dan identitas. Setiap istilah, sapaan, dan ungkapan adat mengandung filosofi kehidupan yang dijaga turun-temurun.

Pengaruh Budaya dan Perdagangan: Balai Pinang sebagai Simpul Strategis Hulu-Pesisir

Meskipun terletak jauh dari pusat pemerintahan Kesultanan Sambas, Panembahan Balai Pinang bukanlah entitas yang terisolasi. Justru sebaliknya, letaknya yang berada di pedalaman berbukit di sekitar Sungai Selakau Hulu menjadikannya titik strategis dalam jaringan perdagangan dan pertukaran budaya antara pedalaman dan pesisir Kalimantan Barat. Negeri Balai Pinang berkembang sebagai pusat distribusi hasil bumi dari hutan dan ladang pedalaman, seperti:

  1. Rotan, damar, dan getah

  2. Rempah-rempah dan tanaman obat

  3. Kayu keras dan bahan baku bangunan

  4. Hasil ladang seperti padi ladang, umbi-umbian, dan buah hutan

Sebagai gantinya, mereka menerima barang-barang dari wilayah pesisir dan luar Kalimantan, seperti:

  1. Garam, kain tenun, keramik, dan logam

  2. Senjata, peralatan besi, dan barang-barang mewah

  3. Bahan kebutuhan ritual dan keagamaan

Jalur air menjadi penghubung vital. Melalui Sungai Selakau dan anak-anak sungainya, para pedagang dari luar dapat masuk ke wilayah hulu dengan perahu kecil, sementara hasil bumi dari pedalaman dikirim ke muara untuk ditukar atau dijual kembali. Hubungan dagang Negeri Balai Pinang bersifat dinamis dan terbuka. Beberapa mitra dagang utama antara lain:

  1. Kesultanan Sambas - Meskipun dulunya terpisah karena perbedaan ideologi dan kekuasaan, hubungan antara Balai Pinang dan Kesultanan Sambas tetap berlangsung secara pragmatis dalam bidang ekonomi dan keamanan. Balai Pinang menjadi penyokong logistik dan pertahanan di wilayah hulu, berperan sebagai perpanjangan tangan tidak resmi kerajaan pesisir.

  2. Pedagang Bugis dari Sulawesi - Para pelaut dan saudagar Bugis yang terkenal tangguh juga mencapai pedalaman Sambas melalui jalur sungai. Mereka membawa barang dagangan dari luar pulau, dan menjalin hubungan ekonomi bahkan aliansi perkawinan dan budaya dengan pemimpin lokal Balai Pinang.

  3. Kapal Dagang Cina dari Kalimantan Utara - Dalam musim-musim tertentu, kapal-kapal kecil dari pesisir Kalimantan Utara (Tanjungpura dan wilayah pesisir Serawak) turut singgah di muara Sambas dan menjalin kontak dagang dengan komunitas hulu, termasuk Balai Pinang. Hal ini menciptakan pertukaran budaya dan barang-barang khas Tionghoa, seperti keramik, manik-manik, dan bahan pengobatan tradisional.

Penjaga Belakang Kerajaan Pesisir

Peran Panembahan Balai Pinang tidak terbatas pada ekonomi semata. Dalam konteks politik dan pertahanan wilayah, mereka juga berfungsi sebagai:

  1. Penyangga stabilitas di wilayah hulu, menjaga agar tidak terjadi konflik antar suku atau gangguan dari luar

  2. Cadangan kekuatan militer tradisional, yang dapat dikerahkan jika terjadi ancaman terhadap Kesultanan Sambas atau komunitas pesisir lainnya

  3. Mediator adat, jika terjadi perselisihan antarwilayah pedalaman

Dengan posisi ini, Balai Pinang menjadi semacam “penjaga belakang” dari kerajaan pesisir, menjaga keseimbangan antara hulu dan hilir secara politik, budaya, dan ekonomi. Panembahan Balai Pinang membuktikan bahwa wilayah pedalaman bukanlah titik terpinggirkan, melainkan poros penting dalam jaringan budaya dan perdagangan Kalimantan Barat. Mereka bukan hanya produsen hasil bumi, tetapi juga pengelola hubungan strategis, penjaga nilai adat, dan penyambung budaya antarwilayah. Peran inilah yang menjadikan Balai Pinang tetap relevan dalam narasi besar peradaban Nusantara.

Raja dari Balai Pinang masih mempunyai hubungan darah dari Permaisuri Sultan Pertama Sambas.

Hubungan dengan Kesultanan Sambas: Otonomi dalam Naungan Kesultanan

Awalnya, Panembahan Balai Pinang berdiri sebagai entitas semi-independen, muncul dari migrasi dan resistensi halus terhadap perubahan kekuasaan pasca berdirinya Kesultanan Sambas pada abad ke-17. Namun, seiring waktu, dinamika sosial-politik di Kalimantan Barat mengalami transformasi yang membawa wilayah pedalaman dan pesisir ke dalam satu federasi kekuasaan yang lebih luas.

Meskipun berada di wilayah pedalaman yang jauh dari pusat istana, Balai Pinang secara bertahap masuk ke dalam struktur kekuasaan Kesultanan Sambas. Hal ini tidak dilakukan secara paksaan, melainkan melalui relasi timbal balik yang saling menguntungkan, termasuk:

  1. Pengakuan kedaulatan nominal Kesultanan Sambas

  2. Kewajiban membayar upeti tahunan atau persembahan adat

  3. Partisipasi dalam upacara besar kesultanan atau pengiriman perwakilan saat ada hajat istana

Sebagai gantinya, para Panembahan tetap diberikan otonomi penuh dalam mengatur urusan adat, spiritual, dan sosial di wilayahnya. Salah satu bentuk penghormatan Kesultanan Sambas terhadap Panembahan Balai Pinang adalah pencatatan resmi silsilah dan gelar para pemimpin Balai Pinang dalam tradisi istana. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan:

  1. Pengakuan bahwa para Panembahan adalah keturunan sah bangsawan Hindu Sambas

  2. Bukti bahwa garis darah dan legitimasi kepemimpinan mereka masih terhubung dengan akar sejarah kerajaan lama

  3. Strategi kultural untuk menjaga kohesi dan solidaritas antara pesisir dan pedalaman

Dalam beberapa catatan istana dan cerita lisan, nama-nama Panembahan Balai Pinang disebutkan dalam konteks hubungan keluarga jauh, perjodohan, bahkan sebagai bagian dari kerabat luas Kesultanan Sambas.

Hubungan antara Panembahan Balai Pinang dan Kesultanan Sambas bukan sekadar hubungan politik atau ekonomi, tetapi berakar pada darah dan adat yang sama. Inilah yang memungkinkan ikatan mereka tetap lestari meski berbeda lokasi geografis dan corak kekuasaan:

  1. Darah: Jejak keturunan bangsawan Hindu Sambas yang mengalir di kedua belah pihak

  2. Adat: Kesamaan dalam struktur nilai, penghormatan kepada leluhur, serta penggunaan bahasa Melayu dalam prosesi adat

  3. Tujuan bersama: Menjaga harmoni antara hulu dan hilir, memperkuat sistem nilai tradisional di tengah masuknya pengaruh luar

Ibu Negeri Balai Pinang menjadi terbengkalai

Kemunduran dan Jejak yang Tersisa

Takdir kerajaan kecil di pedalaman sering kali tak ditentukan oleh perang atau pemberontakan, melainkan oleh sunyi yang datang perlahan. Demikianlah kisah Panembahan Balai Pinang, yang setelah masa-masa kejayaannya sebagai pusat adat dan perdagangan hulu, mulai meredup karena duri sejarah yang tak terelakkan.

Tak lama setelah Panembahan Balai Pinang berdiri tegak sebagai entitas mandiri, Ratu Anom Kesumayuda jatuh sakit keras dan wafat di Balai Pinang. Kepergiannya menjadi pukulan spiritual dan politis bagi rakyatnya. Sang Ratu dimakamkan secara khidmat di atas sebuah mungguk (bukit kecil) di bantaran Sungai Selakau, hanya sekitar 170 meter dari kota dan kubu negeri Balai Pinang.

Pemerintahan Balai Pinang tidak langsung runtuh. Tampuk kekuasaan dilanjutkan oleh putera Sang Ratu, yakni Raden Bekut, yang menyandang gelar Panembahan Balai Pinang. Ia didampingi istrinya, Raden Mas Ayu Karantika, seorang puteri bangsawan dari garis Pangeran Aria Mangkurat. Dari pasangan ini lahirlah Raden Mas Dungun, yang kelak menjadi pewaris terakhir takhta Balai Pinang.


Keraton Istana Kesultanan Sambas di Muara Ulakan

Pemanggilan ke Istana Kesultanan Sambas: Titik Akhir Balai Pinang

Di masa pemerintahan Raden Mas Dungun, terjadi momen penting yang menandai akhir kekuasaan Panembahan Balai Pinang. Sultan Muhammad Tajuddin dari Kesultanan Sambas mengutus sejumlah menterinya untuk menjemput Raden Mas Dungun dan keluarganya ke Kota Sambas. Undangan ini bukan hanya bentuk penghormatan, tetapi juga strategi untuk memusatkan kembali kekuasaan dan integrasi wilayah hulu ke dalam Kesultanan.

Setelah kepergian keluarga kerajaan, kota Balai Pinang perlahan ditinggalkan oleh rakyatnya. Rumah-rumah runtuh dimakan usia, balai adat mulai kosong, dan hutan mengambil kembali apa yang dulu pernah dibangun manusia.

Warisan yang Masih Bertahan

Meski telah lama tidak dihuni, Balai Pinang tidak sepenuhnya hilang. Ia masih hidup dalam ingatan, jejak, dan batu-batu tua yang bersaksi diam. Beberapa warisan budaya yang masih dapat dijumpai antara lain:

  1. Situs-situs adat dan batu bertulis. Batu-batu tua yang dipercaya sebagai peninggalan leluhur dan simbol kekuasaan adat. Sebagian masih berada di lokasi-lokasi keramat dan digunakan dalam upacara adat tahunan.
  2. Balai adat lama yang masih berdiri. Meski tak seramai dahulu, struktur balai adat peninggalan Panembahan masih tegak berdiri, menjadi pusat kegiatan budaya bagi komunitas lokal yang tersisa.
  3. Hikayat lisan tentang kota tua Sambas dan Balai Pinang. Cerita-cerita turun-temurun yang mengisahkan perjalanan para bangsawan tua, migrasi dari Kota Lama Sambas, hingga kemegahan dan kejatuhan Panembahan Balai Pinang, masih hidup di antara para tetua Dayak Selakau dan masyarakat Melayu pedalaman.

Balai yang Senyap, Warisan yang Abadi

Kini, Negeri Balai Pinang telah kembali menjadi hutan, namun ia tidak pernah benar-benar hilang. Di balik semak dan rimba, tersimpan jejak-jejak kerajaan yang sunyi tapi bermartabat. Ia adalah bagian dari mozaik besar sejarah Sambas bukan pusat, bukan pinggiran, tapi penjaga jiwa zaman yang hidup dalam bisu tanah dan napas sungai.

Panembahan Balai Pinang telah tiada, namun kisahnya tak pernah benar-benar mati.

Tidak ada komentar:

Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta

Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:

1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan

Diberdayakan oleh Blogger.