Jejak Peradaban Tua Kerajaan Dayak Gunung Senujuh di Sungai Sambas Besar


misterpangalayo.com - Kerajaan Nek Riuh dan Gunung Senujuh menjadi jejak peradaban Dayak di Hulu Sambas. Di antara gugusan perbukitan berhutan lebat Kalimantan Barat, terpatri dua nama sakral yang menyimpan kisah panjang peradaban tua yaitu Kerajaan Nek Riuh dan Gunung Senujuh. Meski jarang tercantum dalam buku pelajaran sejarah nasional, keduanya adalah titik terang dalam ingatan kolektif masyarakat adat Dayak. Bagi orang Dayak Kanayatn dan komunitas adat lain di wilayah hulu Sambas, nama-nama ini bukan sekadar geografi, melainkan representasi dari pusat kekuasaan spiritual, sosial, dan budaya yang telah eksis sejak masa pra-Islam dan pra-kolonial.

Nek Riuh, sering disebut dalam hikayat adat dan upacara spiritual, dipercaya sebagai tempat awal mula migrasi leluhur dan titik penting dalam persebaran sub-suku Dayak Bakati. Sementara Gunung Senujuh menjulang sebagai simbol kekuasaan adat dan peradaban lokal yang memiliki sistem hukum, kepemimpinan, serta tata kelola sosial yang sangat maju untuk masanya. Jejak peradaban ini membentang dari hulu Sungai Sambas yang menjadi nadi perdagangan dan budaya hingga ke puncak-puncak Senujuh yang disakralkan sebagai tempat para roh leluhur bersemayam.

Kisah Nek Riuh dan Gunung Senujuh mengajarkan kepada kita bahwa sejarah Indonesia tidak hanya tumbuh dari pelabuhan-pelabuhan besar dan kerajaan bercorak maritim, tetapi juga dari hutan-hutan dalam, dari lisan yang diwariskan turun-temurun, dan dari peradaban yang hidup berdampingan dengan alam dalam harmoni yang nyaris sempurna.

Nek Riuh: Negeri Dayak dalam Catatan Majapahit

Tak banyak yang tahu bahwa di balik bayang-bayang kerajaan besar Nusantara, terdapat nama Dayak yang tercatat di salah satu naskah sastra sejarah paling berpengaruh di abad ke-14 Masehi: Negarakertagama karya Mpu Prapanca. Dalam pupuh 14 bait 5 naskah tersebut, tercantum nama “Nek Riuh”, sebagai salah satu daerah taklukan atau pengaruh Majapahit di wilayah Kalimantan Barat. Nama ini bukan sekadar toponim, melainkan menunjuk pada suatu entitas politik kerajaan adat atau persekutuan Dayak yang memiliki struktur sosial, pemerintahan, serta kekuatan militer tersendiri.

Di kalangan sejarawan lokal dan penutur adat Dayak, Nek Riuh diyakini sebagai cikal bakal peradaban tua yang berkembang di sepanjang Sungai Sambas Besar wilayah yang kini masuk dalam Kabupaten Sambas dan Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Suku Dayak Bakati’ Rara disebut sebagai pendiri dan penjaga wilayah ini. Mereka memiliki seorang pemimpin legendaris yang dikenal sebagai Patih Riuh, figur kharismatik yang dipercaya berhasil menyatukan berbagai binua (komunitas adat) ke dalam satu aliansi besar berbasis nilai adat, keberanian, dan konsensus.

Menurut tradisi lisan, nama “Riuh” sendiri bukan tanpa makna. Ia merujuk pada kegaduhan, suara sorak, dan gelombang pertempuran besar yang terjadi ketika Patih Riuh memimpin perang penyatuan antar kelompok suku. Riuh adalah bunyi dari revolusi adat yang menjadikan Nek Riuh sebagai pusat kekuatan lokal di Kalimantan pada masa pra-Islam dan pra-kolonial.

Beberapa penanda arkeologis seperti batu keramat, sisa pemukiman tua, dan petak hutan yang disakralkan oleh keturunan Bakati’ Rara, memperkuat asumsi bahwa Nek Riuh bukan mitos, tetapi realitas sejarah yang terlupakan oleh narasi besar yang terlalu berpusat di Jawa dan pesisir. Ia adalah satu dari sedikit catatan tertulis tentang kekuasaan lokal Dayak sebelum pengaruh kolonial dan Islam merambah Kalimantan.

Gunung Senujuh: Takhta Sakral Para Panglima Adat

Lebih ke arah selatan dari aliran Sungai Sambas Besar, menjulang tujuh puncak megah yang oleh masyarakat Dayak Bakati dikenal sebagai Gunung Senujuh. Dalam kosmologi Dayak, tujuh adalah angka keramat simbol kesempurnaan alam dan lapisan dunia spiritual. Gunung Senujuh bukan sekadar gugusan bukit, melainkan takhta sakral tempat bersemayamnya roh leluhur dan pusat energi spiritual masyarakat adat. Ia adalah poros kebudayaan dan kekuasaan adat yang hidup, tempat di mana keputusan penting diambil, ritual akbar dilaksanakan, dan hukum adat dijaga dalam kesucian hutan dan batu.

Bagi masyarakat Dayak Bakati, Gunung Senujuh adalah Ibu Segala Hukum. Di sanalah para Pangkalima Adat pemimpin tertinggi dalam struktur sosial Dayak melakukan pengesahan ritual, menyelenggarakan Nyabak Gunung (ritual memohon restu alam), serta menjadi penghubung antara manusia dan jubata (penjaga gaib). Hutan-hutannya bukan sekadar ruang biologis, melainkan arsip spiritual: tempat berdirinya tembawang (bekas perkampungan leluhur), batu tegak (menhir), serta lokasi-lokasi keramat yang dijaga dengan pantangan ketat.

Beberapa tokoh adat dan peneliti lokal meyakini bahwa antara Gunung Senujuh dan Nek Riuh terdapat hubungan politik dan spiritual yang saling mengisi. Jika Nek Riuh berfungsi sebagai pusat kekuatan politik dan militer masyarakat Dayak di sepanjang Sungai Sambas Besar dengan pengaruh perdagangan dan diplomasi antar suku maka Gunung Senujuh menjadi pusat tata nilai, hukum, dan keseimbangan kosmologis. Dalam istilah modern, kita bisa menyebutnya sebagai dualisme kekuasaan adat: “pusat dunia luar” dan “pusat dunia dalam.”

Tidak mengherankan bila jejak peradaban Dayak tertua ditemukan di antara kedua poros ini. Di sinilah kita dapat melihat bahwa masyarakat Dayak bukan hanya pemburu atau peladang berpindah seperti anggapan lama, tetapi arsitek kebudayaan yang telah lama membangun tatanan spiritual, sosial, dan ekologis berbasis nilai harmoni dan kesetaraan.

Jejak Sejarah dan Konflik Antar Binua

Seperti peradaban lain di Nusantara, sejarah masyarakat adat Dayak juga diwarnai oleh dinamika konflik dan aliansi antarbinua (komunitas suku). Salah satu momen paling genting dalam memori sejarah Dayak Hulu Sambas adalah Perang Kayau serangkaian konflik yang melibatkan perebutan wilayah, pembalasan dendam, dan pertarungan antar identitas suku. Salah satu konflik besar yang tercatat dalam tradisi lisan adalah benturan antara Dayak Bakati’ Rara (penguasa Nek Riuh) dan Dayak Iban Saribas dari wilayah Sarawak, yang kala itu memperluas pengaruhnya di pedalaman barat Kalimantan.

Perang ini tidak hanya menyebabkan pertumpahan darah, tetapi juga perpindahan besar-besaran komunitas adat, penghancuran tembawang, dan pergeseran kekuasaan di berbagai wilayah strategis. Beberapa binua bahkan tercerai-berai dan memudar akibat kekalahan atau integrasi paksa ke dalam kekuasaan baru yang lebih dominan. Hal ini turut mempercepat kemunduran kerajaan-kerajaan adat seperti Nek Riuh, yang pada awalnya kuat dalam struktur militer dan konfederasi suku.

Memasuki abad ke-15 hingga ke-17, gelombang Islamisasi mulai mengalir dari wilayah pesisir Kalimantan Barat. Perdagangan rempah, dakwah, dan aliansi strategis dengan pedagang Muslim memperkuat posisi kerajaan-kerajaan pesisir baru seperti Tan Unggal, Panembahan Sambas, hingga akhirnya terbentuk entitas besar Kesultanan Sambas. Di tengah gelombang ini, Kerajaan Nek Riuh lambat laun meredup karena asimilasi, penaklukan diplomatik, atau karena kehilangan fungsi strategis akibat kerusakan internal dan migrasi penduduk.

Namun berbeda dengan Nek Riuh yang memudar, struktur adat Gunung Senujuh tetap bertahan. Tidak lagi sebagai kerajaan, tapi sebagai sistem kampung adat yang dipimpin oleh Pangkalima Adat figur spiritual dan sosial yang berperan menjaga harmoni antara manusia, alam, dan dunia roh. Sampai hari ini, di beberapa kampung Dayak yang tersebar di wilayah SingBeBas (Sambas Raya), struktur ini masih hidup dalam bentuk musyawarah adat (balala), pelaksanaan ritual gunung, dan hukum adat yang masih ditaati oleh masyarakat.

Kisah ini menegaskan satu hal penting: meskipun kekuasaan politik bisa runtuh, kekuatan adat dan spiritualitas Dayak tetap bertahan sebagai pilar identitas, menunjukkan daya lenting budaya yang luar biasa dalam menghadapi arus zaman.

Kearifan Lokal: Hukum, Ritual, dan Sistem Sosial

Baik Nek Riuh di dataran sungai maupun Gunung Senujuh di wilayah perbukitan memegang warisan sistem hukum adat yang tidak hanya kompleks, tapi juga mencerminkan nilai-nilai sosial yang sangat maju untuk zamannya. Kepemimpinan tidak diwariskan secara mutlak melalui garis darah, melainkan diperoleh melalui konsensus binua berdasarkan kharisma spiritual, kemampuan bermusyawarah, dan reputasi menjaga harmoni dengan alam dan masyarakat.

Ritual-ritual besar seperti Naik Dango (upacara syukur panen), Ngampar Bide (penyucian tempat dan penolak bala), hingga Balala’ (forum musyawarah adat) bukan sekadar seremonial, tetapi bagian dari mekanisme sosial dan kosmologis yang menjamin keteraturan hidup. Melalui ritual ini, masyarakat Dayak menyelaraskan keputusan kolektif dengan siklus alam dan kehendak leluhur. Dalam konteks ini, hukum adat tidak kaku, tetapi lentur hidup bersama masyarakat, mengikuti dinamika zaman tanpa kehilangan akar spiritualnya.

Yang menarik, sistem musyawarah binua bisa disebut sebagai cikal bakal demokrasi adat. Semua pihak memiliki hak bersuara, termasuk kaum perempuan yang sering terlibat sebagai pemegang pengetahuan adat, penjaga api ritual, atau penengah dalam konflik. Tanah bukanlah objek komersial, melainkan warisan leluhur yang dijaga bersama. Hukum adat tidak mengenal pemenjaraan, tetapi mengutamakan restorasi harmoni, denda adat (pamali), dan penyucian spiritual.

Dalam tatanan ini, Gunung Senujuh berfungsi sebagai "Mahkamah Agung Adat" tempat tertinggi dalam hierarki spiritual dan hukum, di mana keputusan penting diambil melalui musyawarah besar. Di sinilah para Pangkalima Adat dari berbagai binua berkumpul untuk menyatukan pandangan, menentukan arah hukum, serta melakukan ritual kosmis untuk menjaga keharmonisan semesta.

Kearifan ini menunjukkan bahwa masyarakat Dayak telah memiliki sistem sosial yang adil, ekologis, dan spiritual jauh sebelum datangnya hukum kolonial atau konstitusi modern. Nilai-nilainya masih relevan hingga kini, terutama dalam konteks keadilan restoratif, keberlanjutan lingkungan, dan penghormatan terhadap hak adat.

Warisan yang Tersisa dan Tanggung Jawab Kita

Sayangnya, kisah besar Nek Riuh dan Gunung Senujuh nyaris tenggelam dalam senyap. Tanpa catatan tertulis yang memadai, sejarah mereka hanya bertahan lewat pantun adat, cerita lisan, dan nama-nama tempat yang tersisa dalam ingatan komunitas. Minimnya perhatian pemerintah terhadap sejarah lokal menyebabkan banyak situs penting belum terdaftar secara resmi sebagai cagar budaya. Ironisnya, ketika dunia luar mulai menaruh minat pada budaya Dayak, sebagian generasi mudanya justru mulai melupakan akar dan asal-usulnya sendiri.

Namun, harapan belum padam. Dalam keheningan hutan dan lembah, semangat pelestarian mulai tumbuh kembali. Komunitas adat, peneliti lokal, akademisi, dan budayawan kini mulai bergerak—mendokumentasikan ulang cerita-cerita tua, merekam tradisi, dan memetakan ulang situs-situs warisan budaya. Beberapa sekolah lokal juga mulai memasukkan sejarah binua dalam kurikulum muatan lokal, sebagai upaya untuk membangkitkan kebanggaan akan identitas.

Festival budaya Dayak yang kini rutin digelar menjadi panggung untuk menunjukkan kekayaan seni, musik, kuliner, dan ritus yang hidup dalam masyarakat. Sementara itu, Gunung Senujuh mulai dilirik sebagai destinasi wisata adat yang edukatif bukan sekadar tempat berfoto, tetapi ruang kontemplasi, belajar, dan menghayati kebijaksanaan leluhur.

Kini, tantangan kita bukan hanya menjaga jejak yang tersisa, tetapi menghidupkan kembali warisan itu dengan cara yang bermartabat, berkelanjutan, dan inklusif. Karena sejarah yang tidak dijaga bukan hanya akan dilupakan, tetapi bisa lenyap selamanya. Dan kehilangan sejarah berarti kehilangan arah.

Menyatukan Mozaik Sejarah Nusantara

Nek Riuh dan Gunung Senujuh adalah bukti tak terbantahkan bahwa peradaban Dayak tidak lahir di ruang hampa atau terasing di hutan belantara. Mereka adalah masyarakat kompleks, spiritual, dan egaliter, dengan sistem hukum, struktur sosial, dan kosmologi yang telah mapan jauh sebelum kedatangan kolonialisme atau agama-agama besar dari luar. Mereka bukan hanya saksi, tetapi juga pelaku sejarah pernah bersentuhan dengan Majapahit, dan kemudian berperan dalam lahirnya kerajaan-kerajaan baru seperti Tan Unggal, Panembahan Sambas, hingga Kesultanan Sambas.

Sudah waktunya kita berhenti membaca sejarah hanya dari pusat kekuasaan, dari istana dan pelabuhan besar. Karena sejatinya, sejarah Nusantara juga ditulis di pinggiran-pinggiran sunyi di balik tebing sungai, di lereng gunung yang berkabut, dalam pantun yang dilagukan di beranda rumah betang. Dari riuhnya Sungai Sambas Besar hingga sunyinya puncak Senujuh, warisan leluhur Dayak menjadi lembaran penting yang tak boleh lagi dilupakan.

Menyatukan kembali mozaik sejarah Nusantara berarti mendengarkan suara-suara yang lama dibisukan, mengakui peradaban yang lama terpinggirkan, dan menghargai warisan yang hidup bukan hanya dalam batu dan naskah, tapi juga dalam napas masyarakat adat yang terus menjaga api leluhur hingga hari ini.

2 komentar:

  1. Mantaaaaaaaaaaaaaap bang
    Asep nih

    Hihihihihii

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yuhu,,,,mantap kang.. mampir dan mash suka baca tulisan sejarah

      Hapus

Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta

Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:

1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan

Diberdayakan oleh Blogger.