Filosofi Tradisi Budaya Makan Saprahan Pada Masyarakat Sambas


misterpangalayo.com- Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing, Berdiri Sama Tinggi Duduk Sama Rendah. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk yang memiliki berbagai macam suku dan budaya yang tersebar di tanah air. Kesatuan Bhineka Tunggal Ika dan kemajemukan itulah menjadikan kita Indonesia, negara yang begitu indah. Suku Sambas (Melayu Sambas / Urang Sambas) adalah salah satu komunitas etnis dari ras austronesia atau etnoreligius Muslim yang berbudaya Melayu (hukum adat Melayu), berbahasa Melayu, walaupun secara linguistik termasuk dalam rumpun Dayak Melayik dan dikategorikan sebagai Melayu Tua / Proto Melayu. Suku Sambas (Melayu Sambas / Urang Sambas) menempati sebagian besar wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kota Singkawang dan sebagian kecil Kabupaten Mempawah- Kalimantan Barat.

Di Kalimantan Barat terutama di Kabupaten Sambas kaya akan warisan leluhur berupa budaya-budaya yang tidak akan pernah habis untuk dibahas dan sangat menarik untuk di eksplorasi, salah satunya sebuah Tradisi Budaya Makan Saprahan yang penuh filosofi pada masyarakat Sambas.



Tradisi Budaya Makan Saprahan di Kabupaten Sambas hingga sekarang masih bisa ditemui terutama pada acara-acara tertentu, mulai dari acara Sya'ban hingga acara pernikahan. Tradisi ini penuh makna yang menjadi salah satu kebanggaan Urang Sambas yang harus dilestarikan, karena tak sekedar makan bersama, tak sekedar berkumpul, tapi banyak hal yang perlu kita perhatikan dalam tradisi budaya makan saprahan ala masyarakat Sambas.

SEJARAH DAN DEFINISI SAPRAHAN

Sebelum lebih jauh membahas sejarah Tradisi Budaya Makan Saprahan, kita harus tahu definisi budaya. Kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu "buddhayah" yang merupakan bentuk jamak dari "buddhi" yang artinya budi atau akal. Jadi kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal.

Kesadaran untuk memelihara, membina, dan mengembangkan Budaya yang mencerminkan nilai luhur dan kekayaan bangsa dalam bukti kepedulian terhadap kelangsungan proses kehidupan berbangsa. Indonesia dengan berbagai suku bangsa yang tersebar diseluruh penjuru tanah air mempunyai keanekaragaman budaya yang perlu mendapat perhatian agar tetap terjaga dan terpelihara baik budaya bangsa maupun budaya lokal.



Tradisi saprahan memang sudah ada sejak lama, akan tetapi orang-orang tidak tahu betul kapan sejarah masuknya tradisi saprahan di Kabupaten Sambas. Menurut Bapak H. Muin Ikram dan Bapak H. Aspan. S, mereka menyebutkan bahwa sejarah masuknya tradisi Saprahan di daerah Sambas di bawa oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Sambas, karena dahulunya Sambas merupakan tempat yang srategis bagi kapal-kapal yang berlayar untuk singgah dan menawarkan barang-barang. Menurut Bapak H. Aspan. S, kemungkinan besar masuknya budaya Saprahan di Sambas seiring dengan masuknya agama Islam di Indonesia.

Menurut Bapak H. Muin Ikram, kata Saprahan bukanlah berasal dari bahasa Sambas maupun Indonesia akan tetapi kata Saprahan berasal dari Arab. Beliau juga bilang bahwa kata Saprahan mempunyai makna tersendiri, tetapi beliau tidak pasti tahu apa makna sebenarnya yang terkandung dalam kata Saprahan. Dia menyimpulkan bahwa makna Saprahan adalah sopan santun dalam beradab, kebersamaan yang tinggi (gotong-royong).

Tradisi Budaya Makan Saprahan memiliki makna duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Tradisi ini begitu kental dengan makna filosofinya, penuh akan makna sebuah kebersamaan, keramah-tamahan, berjiwa sosial tinggi dan nilai persaudaraan yang kuat antar masyarakat Sambas yang telah membudaya. Tradisi ini hingga sekarang masih sering ditemui di daerah pinggiran, terutama pada acara perkawinan tradisional.

FILOSOFI TRADISI BUDAYA MAKAN SAPRAHAN

Saprahan merupakan tradisi adat Melayu. Cara makan, menghidang, dan menu ada aturannya. Tidak tertulis, tetapi sudah membudaya. Di Kalimantan Barat, tradisi budaya ini sudah tidak asing terdengar di telinga masyarakat yang berbudaya Melayu, khususnya masyarakat Sambas, Mempawah dan Pontianak.

Padahal Tradisi Budaya Makan Saprahan adalah sebuah jamuan makan yang melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan, saling berhadapan duduk satu kebersamaan. Maka timbul pertanyaan di benak penulis, Apa filosofi dari makan saprahan itu?

Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing, Berdiri Sama Tinggi Duduk Sama Rendah. Itulah filosofi yang tepat untuk melambangkan kebersamaan dan semangat gotong royong masyarakat Sambas yang hingga saat ini masih terjaga dengan baik. Hidangan sajian yang sudah terhidang akan disantap bersama-sama kelompok, membentuk seperti lingkaran bola. Sajian yang disantap tidak menggunakan sendok maupun lainnya, tetapi menggunakan tangan (disuap), sedangkan untuk mengambil lauk pauk digunakan sendok

Tradisi Budaya Makan Saprahan tidak bisa terlepas dari semangat gotong royong masyarakat, contohnya pada acara perkawinan karena untuk membuat acara tersebut membutuhkan tenaga yang cukup banyak. Biasanya untuk sebuah acara perkawinan membutuhkan tenaga kerja bisa lebih dari seratus orang. Sangat mustahil kalau yang punya acara menggaji atau memberi upah kepada semua tenaga kerja yang telah membantu, karena biasanya warga satu desa turut serta bahu-membahu membantu segala aktivitas untuk makan saprahan tersebut.

Seandainya total semua tenaga kerja adalah 200 (dua ratus) orang, dan setiap orang di gaji IDR 200k, maka total untuk upah tenaga kerja adalah Rp. 40.000.000,-. Tetapi selagi semangat gotong royong masyarakat masih kental, maka yang punya acara cukup memberi makan para warga yang telah berpartisipasi demi kelancaran acaranya.


Karena untuk membuat acara perkawinan saja butuh satu minggu waktu yang diperlukan untuk segala persiapan, mulai dari membuat tenda untuk memasak, tempat acara serakalan, tempat tanjidor, dan lain sebagainya. Setelah selesai, maka warga kembali bahu-membahu gotong royong kembali untuk menyelesaikan pekerjaan lainnya, mulai dari merobohkan bangunan yang dibangun tadi, mengembalikan piring untuk makan saprahan dan lain sebagainya.



Kesimpulannya adalah untuk pengeluaran membutuhkan biaya tiga kali lipat dari acara perkawinan makan prasmanan seperti yang yang sering kita jumpai di daerah perkotaan. Maka dari itu, tradisi ini memang sangat kental dengan adat dan budaya Melayu yang perlu kita lestarikan bersama sebagai generasi penerus karena makan saprahan dan semangat gotong royong dalam budaya itu memang satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kalau semangat gotong royongnya memudar, maka makan saprahan juga akan dengan sendirinya akan hilang.

KEISTIMEWAAN TRADISI BUDAYA MAKAN SAPRAHAN

Dalam tradisi budaya makan saprahan terkandung nilai-nilai filosofi yakni adanya kebersamaan dan rasa kekeluargaan. Penyajian makanan dengan cara saprahan juga sebagai salah satu pendidikan etika. Sajian yang dihidangkan juga terdiri dari berbagai jenis kuliner khas Melayu.

Keistimewaan yang secara tidak langsung kita dapatkan dalam makan saprahan adalah sebuah kesederhanaan yang tercipta dengan duduk secara bersama-sama tanpa memandang latar belakang duduk di lantai dengan makanan yang sama. Hal ini justru menjalin rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang merupakan modal penting menjaga tetap saling mengenal satu sama lain.

Tradisi ini dalam kehidupan masyarakat Sambas sangat identik dengan agama Islam, terpelihara dan berpedoman pada 6 (enam) rukun Iman, dan 5 (lima) rukun Islam. Makna bersaprah yang disantap oleh 6 (enam) orang setiap saprahannya diartikan dengan rukun Iman, dan lauk-pauknya yang dihidangkan biasanya 5 (lima) piring diartikan rukun Islam. Sebenarnya tidak ada perbedaan menu masakan untuk sajian saprahan antara rakyat biasa dengan pemimpin, semuanya sama saja.

Berangkat dari pembahasan di atas, maka saya simpulkan keistimewaan Tradisi Budaya Makan Saprahan pada masyarakat Sambas, adalah:

1. Kesederhanaan melalui makan besaprah ini terlihat sebuah kesederhaan yang tercipta, yaitu dengan duduk secara bersama-sama dilantai dengan lauk dan sayur yang apa adanya. Setiap orang dengan berbagai latar belakang, kaya atau miskin, muda atau tua, mempunyai jabatan atau tidak, makan makanan yang sama,tidak ada yang diistimewakan.

2. Kebersamaan dan kekeluargaan, makan besaprah menjalin kebersamaan dan kekeluargaan yang merupakan modal penting untuk menjaga kita tetap saling mengenal.

3. Persatuan, Semakin baik kita mengenal sesorang lain maka hubungan emosional kita dengan orang tersebut akan baik dan akan berpengaruh pula kepada rasa persatuan dan kesatuan kita.

4. Solidaritas, dengan terjalinnya dan kesatuan dan persatuan rasa solidaritas akan timbul dengan sendirinya.

5. Sebagai wahana interaksi dalam menyampaikan informasi.

6. Melestarikan Warisan Budaya leluhur.

BENTUK dan JENIS SAPRAHAN

Bentuk Saprahan ada 2 (dua) macam antaranya sebagai berikut:

1. Saprahan Memanjang

Adalah sajian makanan yang disusun, disajikan diatas kain yang memanjang, sepanjang ruangan yang disiapkan. Tamu duduk secara berhadapan ditengah-tengahnya sajian yang telah disediakan. Mengapa disebut Saprahan memanjang, karena bentuknya yang memanjang seperti persegi panjang. Saprahan bentuk memanjang ini sudah tidak ada lagi didaerah Kabupaten Sambas, saprahan ini hanya ada di luar Kabupaten Sambas. Seperti Pontianak dan sekitarnya. Inilah yang membedakan saprahan yang ada di Kabupaten Sambas dengan Kabupaten lainya, karena mempunyai ciri khas.

2. Saprahan Pendek

Adalah membentangkan atau menghamparkan kain saprahan yang ukuranya 1x1 meter saja dan diatasnya hamparan kain tersebut diletakan sajian makanan yang akan disantap para tamu (khusus undangan). Terkadang ada juga yang tidak pakai kain, tetapi diletakkan dirumah-rumah tapi berbentuk lingkaran. Setiap saprahan pendek dihadapi oleh 6 (enam) orang setiap saprahan. Dengan cara membentuk lingkaran seperti bola, saprahan bentuk pendek ini yang masih dilaksanakan oleh masyarakat di Kabupaten Sambas sampai saat ini, baik di kota maupun didesa-desa.


Saprahan pendek dibagi menjadi 3 (tiga) jenis antara lain:

1. Saprahan Bulat

Model saprahan ini, di atas hamparan kain saprah yang ukuranya 1x1 meter saja. Ditengah kain saprahan itu diletakkan pinggan saprahan, tempat nasi dikelilingi oleh lauk-pauk dan diteruskan dengan pinggan nasi. Di ujung sebelah depan diletakkan batil dan gelas tempat mencuci tangan sebelum makan, dan di sebelah belakang diletakkan tempat iar minum.

2. Saprahan Membujur Dengan Alas Saprah

Adalah saprahan beralaskan kain saprahan 1x1 meter, di tengah alas kain diletakkan lauk-pauk dalam piring. Diujung saprahan diletakkan pinggan saprahan dan bergandengan dengan air cuci tangan di dalam batel atau tempat air. Disamping piring lauk.

3. Saprahan Membujur Dengan Alas Baki

Adalah saprahan dengan susunan seperti Pinggan saprah atau tempat nasi diletakkan di atas sekalian bergandengan dengan dengan batel air cuci tangan, diikuti dengan baki besar yang berisi lauk-pauk. Diletakkanlah pinggan ditengah-tengah, dikiri kanan baki diletakkanlah lauk-pauk sebanyak 6 buah dan duujung diletakan baki cawan air minum.

PENYAJIAN SAPRAHAN 

Dalam Tradisi Budaya Makan Saprahan tentunya ada tata cara tertentu dalam menyajikan hidangan. Baik dalam peangkatan sajian maupun cara-cara menyodorkan saprahan, biasa pesurrung (tim penyaji) dianggotakan minimal 5 (lima) orang. Besurrung diartikan sebagai pengangkat sajian kehadapan tamu undangan yang sudah menunggu di atas tikar maupun permadani yang telah disediakan khusus untuk tamu. Penyurrung biasanya bukanlah orang sembarangan yang dipilih, tetapi orang yang sudah bias dalam besurrung, penyurrung penampilannya sangat rapi dengan pakaian Melayu sambas.


Dalam tata cara penyajian makanan (besurrung), dilakukan oleh 5 (lima) orang yang mempunyai tugas masing-masing sebagai berikut:

1. Penyurrung 1

Barisan terdepan bertugas mengatur meletakan sajian diatas hamparan tikar. Penyurrung 1 ini juga membawa alas saprah dan tempat air cuci tangan.

2. Penyurrung 2

Membawa pinggan saprah yang berisi nasi.

3. Penyurrung 3

Membawa baki lauk-pauk.

4.Penyurrung 4

Membawa pinggan/piring nasi.

5. Penurrung 5

Membawa baki becil yang berisi cawan air minum.


Kelima orang tersebut mengambil bawaan masing-masing dan menyusun menurut tugasnya. Mereka mengambil posisi secara berurutan, mulai dari memasuki ruangan, berjalan, duduk dan lain-lain. Sajian saprahan disampaikan secara sambung menyambung. 


Bersama Kita Bisa, Bersama Kita Melestarikan Budaya Kita. Mari menginspirasi banyak orang dengan budaya bangsa kita #NowWeSee #46thMenginspirasi #GBCFebruari.
Sumber Referensi Artikel:


Edi Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah, ( Ed.1-3; Jakarta PT RajaGravindo Persada,2007),hlm.325.

Murniatmo Gatut dkk, Khazanah Budaya Lokal ( Yogjakarta: Adicita Karya Nusa, 2000). Hal. 85.

http://www.cakrawawasan.com/2013/05/makan-saprahan-sebuah-kebudayaan-khas.html

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/08/02/n9nufk-melestarikan-tradisi-makan-saprahan

http://www.pontianakkota.go.id/index.php/2015/10/01/makan-saprahan-pererat-rasa-kekeluargaan/?print=pdf

http://pemimpinangah.blogspot.co.id/2014/09/saprahan-adat-budaya-sambas.html



Sumber Photo: Dokumentasi Pribadi

6 komentar:

  1. Budaya yang unik ya, makan sama-sama. Kearkraban makin terjalin dengan saprahan.

    BalasHapus
  2. mas izin minta gambarnya ya untuk artikel jurnal ilmiah saya, saya tetap cantumin sumber dari webnya.

    BalasHapus
  3. hello dude, makasih artikelnya, saya mengutip beberapa kalimat dari artikel saudara sebagai referensi untuk karya tulis jurnal Internasional saya, dan saya telah cantumkan alamat webnya di daftar pustaka, jika mau lihat silakan cek di web pengelola journalnya berikut: http://ijmas.com/UpcomingIssueNew.aspx, yang judulnya
    The Meaning of the Actions in the Tradition of Makan Bersaprah at the Wedding of Sambas Malay atas nama
    Atem
    Sosiology Department, Faculty of Sosial and Political Science, Padjajaran University Jalan. Bukit Dago Utara No. 362 Bandung

    Makasih banyak. salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima Kasih atas apresiasinya mas.... syukur kalau membantu

      Hapus
  4. Mas izin mengutip beberapa fto dan drtikelnya untuk tugas kuliah

    BalasHapus

Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta

Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:

1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan

Diberdayakan oleh Blogger.