Cerita Dayak Sambas: Legenda Gunung Sekadau Langkak Alo Kecamatan Tebas
misterpangalayo.com - Pada masa ketika batas antara alam manusia dan alam roh masih tipis, wilayah Desa Maribas di Kecamatan Tebas (Sambas, Kalimantan Barat) adalah tanah tua yang disucikan. Ia termasuk dalam wilayah adat Dayak Benua Tambang Laut, warisan leluhur Suku Dayak Bakati yang dijaga bukan dengan pagar, melainkan dengan sumpah adat dan pantangan suci.
Hutan di sana tidak hanya tumbuh, tetapi hidup. Sungai tidak sekadar mengalir, tetapi mendengar. Setiap batu, setiap pohon besar, diyakini memiliki antu tana, roh penjaga yang menjaga keseimbangan alam. Di atas semuanya bersemayam Jubata, pengatur hidup, penentu nasib manusia dan alam.
Dari tanah Maribas, pada hari cerah, tampak Gunung Bawang di Bengkayang berdiri jauh di cakrawala. Bagi orang Bakati, gunung itu bukan sekadar bentang alam, melainkan mata leluhur yang mengawasi adat agar tidak dilanggar.
Langkak Alo, Lelaki yang Mengikat Diri dengan Adat
Di tanah itulah hidup seorang lelaki Dayak Bakati bernama Langkak Alo. Ia bukan raja, bukan pula orang kaya. Namun namanya disebut dengan hormat karena ia adalah panglima adat penjaga wilayah.
Langkak Alo memegang satu sumpah:
“Selama kakiku berpijak di tanah Bakati, adat tidak boleh diinjak.”
Ia selalu membawa tongkat adat, simbol keadilan, dan mandau tua warisan leluhur. Mandau itu tidak pernah digunakan untuk menyerang manusia, hanya untuk menegakkan adat dan melindungi tanah.
Jika ada perselisihan tanah, Langkak Alo menjadi penengah. Jika ada hutan dilanggar, dialah yang pertama berdiri menghadang. Banyak yang takut kepadanya, tetapi lebih banyak yang menghormatinya.
Suatu sore, ia berdiri di tanah tinggi Maribas, memandang jauh ke arah Gunung Bawang. Angin bertiup pelan, dan ia berbisik:
“Selama engkau masih berdiri, wahai gunung leluhur, aku akan menjaga tanah ini.”
Alam Memberi Peringatan
Namun waktu berubah. Musim tidak lagi patuh. Hujan jarang turun, padi menguning sebelum masak, dan sungai mulai surut. Binatang buruan menghilang seolah meninggalkan manusia.
Malam-malam terasa berat. Anak-anak sering terbangun karena mimpi buruk. Orang tua mulai resah.
Seorang tetua adat, Nek Janting, berkata dengan suara bergetar:
“Ini bukan sakit biasa. Ini tanda alam. Antu tana sedang murka.”
Kata-kata itu membuat semua orang terdiam. Mereka tahu, jika alam murka, berarti ada keseimbangan yang rusak.
Ritual Besapat di Rumah Adat
Malam itu, seluruh tetua Dayak Bakati berkumpul di rumah adat Benua Tambang Laut. Api dinyalakan di tengah ruangan, gong dipukul perlahan, memanggil roh leluhur.
Ritual besapat adat dimulai.
Seorang balian tua melangkah ke depan, mengangkat tangannya, dan berdoa:
“Jubata di atas, Jubata di bumi, dengarkan kami, anak cucu Bakati.”
Ayam putih dipersembahkan sebagai lambang ketulusan. Beras kuning ditabur sebagai tanda kehidupan. Asap kemenyan naik perlahan, membawa doa ke alam roh.
Tiba-tiba tubuh balian bergetar. Suaranya berubah, berat dan dalam:
“Tanah ini terganggu. Janji lama hampir dilupakan. Harus ada penjaga yang menyatu dengan bumi.”
Suasana rumah adat membeku. Semua menunduk. Mereka tahu arti kata-kata itu.
Keputusan yang Mengguncang Adat
Dalam kesunyian, Langkak Alo melangkah ke tengah ruangan.
“Jika itu kehendak Jubata,” katanya tenang, “aku yang akan menjaganya.”
Tangis pecah. Nek Janting memegang lengannya.
“Langkak Alo, engkau tahu artinya itu? Engkau tidak akan kembali.”“Aku tahu,” jawabnya pelan, “tetapi tanah ini harus hidup lebih lama dari tubuhku.”
Keputusan itu tidak dipaksa. Itulah nilai adat Bakati: pengorbanan harus lahir dari keikhlasan.
Tapa Menghadap Gunung Bawang
Langkak Alo memulai tapa adat selama tujuh hari tujuh malam. Ia naik ke tanah tertinggi di Maribas, menghadap langsung ke Gunung Bawang.
Setiap malam ia berdoa:
“Leluhur Bakati, terimalah pengorbananku. Jadikan aku benteng tanah ini.”
Pada malam ketujuh, alam berhenti bernapas. Angin lenyap. Burung enggang terbang melingkar di langit. Tanah bergetar pelan seperti jantung yang berdetak.
Dengan satu tarikan napas, Langkak Alo menancapkan tongkat adat ke tanah:
“Jubata! Jadikan aku dinding tanah ini!”
Lahirnya Gunung Penjaga
Tanah bergemuruh. Bumi terangkat perlahan. Cahaya putih menyelimuti Langkak Alo hingga tubuhnya lenyap, menyatu dengan tanah, batu, dan akar pohon.
Saat fajar menyingsing, orang-orang melihat gunung baru berdiri di Maribas. Hutan tumbuh subur di lerengnya, udara terasa sejuk dan damai.
Tetua adat berkata dengan suara penuh hormat:
“Inilah Sekadau, tanah yang terangkat.”“Dan inilah Langkak Alo, penjaga abadi.”
Sejak itu, gunung itu dikenal sebagai Gunung Sekadau Langkak Alo.
Pesan Leluhur untuk Anak Cucu
Orang Dayak Bakati percaya, Gunung Sekadau Langkak Alo dan Gunung Bawang terhubung secara gaib. Jika kabut turun dari Gunung Bawang dan menyelimuti Sekadau, orang tua selalu berpesan:
“Jaga kata, jaga hati, jaga hutan. Leluhur sedang turun.”
Hingga kini, wilayah itu dijaga sebagai tanah adat Benua Tambang Laut. Merusak hutan, serakah terhadap alam, atau melupakan adat diyakini akan mengundang tulah Jubata.
![]() |
| Gunung Sekadau - Kecamatan Tebas (Sambas, Kalimantan Barat) |
Nilai Moral untuk Dayak Bakati
Legenda ini mengajarkan bahwa:
-
Tanah bukan milik manusia, manusia milik tanah
-
Adat lebih tinggi dari kepentingan pribadi
-
Pengorbanan tulus menjaga kehidupan bersama
-
Alam yang dijaga akan menjaga manusia
Gunung Sekadau Langkak Alo berdiri bukan sebagai batu bisu, tetapi sebagai sumpah yang menjelma, pengingat bahwa jati diri Dayak Bakati hidup selama adat dan alam dihormati.
![]() |
| Komunitas SCKhatulistiwa bersama warga lokal (Kambek Adventure) camping di Gunung Sekadau |




Tidak ada komentar:
Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta
Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:
1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan