Mengenal Lebih Dekat Dayak Pesaguan Dari Tanah Kayong

misterpangalayo.com - Tanah Kayong itulah sebutan untuk sebuah negeri yang berada di paling selatan Provinsi Kalimantan Barat yaitu Kabupaten Ketapang (termasuk juga Kabupaten Kayong Utara). Kabupaten Ketapang memiliki luas wilayah 31.588,00 km² dengan beragam suku bangsa, agama, adat dan tradisi, serta budaya yang kaya. Suku Pesaguan atau Dayak Pesaguan merupakan salah satu sub suku Dayak yang mendiami wilayah perhuluan aliran Sungai Pesaguan di Kabupaten Ketapang. 

Masyarakat Dayak di Kabupaten Ketapang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu : Kelompok Kiri Pawan dan Kelompok Kanan Pawan. Hampir semua kelompok masyarakat Dayak di wilayah Kabupaten Ketapang bermukim di daerah pedalaman, antara lain kelompok-kelompok Dayak : Kuwalan dan Semandang-Simpakng termasuk Gorai, Laur, Satong, Jekak, Kriau atau Krio, Biak atau Bihak, Beginci, Kayong dan Gerunggang, Jelai atau Jalai, Kendawangan, dan juga termasuk Pesaguan.

Pakaian Tradisional Masyarakat Dayak Pesaguan

Dayak Pesaguan masuk dalam rumpun besar Dayak Klemantan (Dayak Darat), namun berdasarkan linguistik bahasa yang digunakan orang Pesaguan dikategorikan Rumpun Bahasa Malayic Dayak (Kotawaringin) Berbahasa Malayic Borneo Barat. Penamaan suku Pesaguan berasal dari sebuah nama aliran sungai Pesaguan dimana kelompok masyarakat Dayak Pesaguan bermukim di sepanjang aliran Sungai Pesaguan (sebagian kecil di aliran anak Sungai Jelai).

Dilihat dari sisi geografis Sungai Pesaguan, kelompok masyarakat Dayak Pesaguan dibedakan berdasarkan letak huniannya seperti Pesaguan Hulu, Pesaguan Tengah, dan Pesaguan Hilir. Sedangkan kelompok masyarakat Pesaguan yang bermukim agak jauh dari pesisir sungai Pesaguan dibedakan menjadi Pesaguan Kiri dan Pesaguan Kanan. Hal ini juga menyebebkan persebaran bahasa Pesaguan menjadi sedikit berbeda antar hunian satu dengan hunian lainnya. 

7 sub bahasa Pesaguan yang masih digunakan hingga saat ini yaitu :

  • Batu Tajam (Pesaguan Kiri)
  • Kekura'
  • Kengkubang (Pesaguan Hulu)
  • Marau (Pesaguan Kiri)
  • Pesaguan Hulu
  • Pesaguan Kanan (sebagai lingua franca bahasa Dayak Pesaguan)
  • Sepauhan (Pesaguan Hilir, bahasa dari Dayak Kendawangan)

Secara administratif, masyarakat Dayak Pesaguan terkonsentrasi di wilayah Kecamatan Tumbang Titi di bagian paling timur, Desa Lalang Panjang di bagian tengah, dan Kecamatan Sungai Melayu Raya di bagian barat. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Dayak Pesaguan masih sangat kuat dengan adat istiadat, etika dan norma-norma moral agama suku. Secara garis besar kebudayaan dayak Pesaguan hampir sama dengan sub suku dayak lainnya, namun ada beberapa tradisi adat dan budaya yang unik dari suku ini.

Pakaian Tradisonal Dayak Pesaguan

Masyarakat Dayak Pesaguan di Kecamatan Tumbang Titi memiliki keunikan tersendiri untuk jenis pakaian tradisional dari suku dayak pada umumnya. Terlebih motif terhadap pakaian tersebut yang dikenal dengan motif Kombang Menjolak. Wanita Pesaguan menggunakan rok khas motif Kombang Menjolak yang dilukis maupun dipayet diatas rok yang bahannya terbuat dari kulit kayu ketatai. Sedangkan untuk atasannya, tergantung si pemilik badan apakah memadukannya dengan kebaya atau cukup dengan rompi. Untuk pakaian pria sama seperti baju tradisional dayak yang terbuat dari kulit kayu pada umumnya, hanya yang membedakan adalah motif Kombang Menjolak.

Motif Kombang Menjolak

Selain itu, tidak sedikit masyarakat Dayak Pesaguan melestarikan Khas Motif Kombang Menjolak pada pakaian adatnya baik untuk ritual adat hingga pernikahan dengan mengikuti arus perkembangan zaman, misalkan pakaian adat perkawinan dayak Pesaguan yang terbuat dari bahan kain dengan motif khas tersebut.

Pakaian Adat Perkawinan Dayak Pesaguan

Upacara Adat Buah

Upacara Adat Buah adalah salah satu upacara adat yang menjadi tradisi turun temurun yang masih dilestarikan oleh masyarakat Dayak Pesaguan. Upacara ini dilakukan untuk menyambut musim buah dalam kehidupan masyarakat Pesaguan. Musim buah ditandai dengan munculnya bunga dan putik di pohon-pohon seperti kelampai, kumpang, limat, durian, mangga, rambutan, dan kekalik. Tujuan upacara ini adalah agar mendapat hasil panen yang melimpah dan bersyukur pada Tuhan. Upacara adat buah juga menjadi penanda bahwa masyarakat tidak dibolehkan memanjat pohon-pohon buah apalagi mengambil buah pada malam hari. 

Belian atau betara buah sejak saat itu juga tidak boleh memakan buah apapun, kecuali buah pinang dan sirih. Upacara dipimpin oleh betara buah (dukun adat) dan diikuti oleh sebagian masyarakat. Peralatan dan bahan-bahan sesaji yang diperlukan dalam upacara adat buah yaitu: ancak gantung sebagai tempat sesaji, buah-buahan sebagai sesaji, ayam untuk dipotong sebagai persembahan, daging untuk ditaruh diancak sebagai sesaji, pepalit, daun roso, kampur jampi atau kunyit dengan kapur sirih, tuak, pingan tua atau piring tua, ketela, dan beras ketan hitam.

Tradisi Kanjan Serayong

Selain itu, tradisi adat lainnya dari Dayak Pesaguan adalah Kanjan Serayong. Menganjan begitulah masyarakat Dayak Pesaguan menyebutnya untuk rangkaian upacara terakhir dari prosesi adat kematian dalam budaya Pesaguan. Upacara ini dilakukan saat yang meninggal dunia akan disandung atau ditambak. Tambak merupakan sebuah rumah-rumahan kecil yang nantinya akan diletakan diatas makam orang yang telah meninggal sebagai simbol untuk tempat peristirahatan. Sebelum prosesi menyandung, jenazah terlebih dahulu dikremasi yang dikenal dengan nama upacara betunu'.

Upacara Batunu'

Pada zaman dahulu, prosesi adat Betunu' akan melibatkan pengorbanan manusia yang disebut sebagai golongan TULUYUN. Orang TULUYUN adalah orang yang ditakdirkan untuk dijadikan korban atau persembahan dalam setiap upacara menganjan. Mereka disiksa dengan tombak dan mandau, lalu dibunuh dan menjadi tumbal pada dasar tiang sandung atau tambak (saat ini sudah tidak dilakukan lagi).

Kata menganjan sendiri dapat diartikan dengan menganjar yang merupakan seruan kegembiraan ketika mendapatkan sesuatu. Dalam tradisi kematian dan kepercayaan Dayak Pesaguan, arwah keluarga yang telah meninggal dapat masuk ke sebayan tujoh serugo dalam (baca: surga), sebuah tempat keabadian yang digambarkan tempat dimana air tidak membusuk, nasi tidak pernah basi, dan sebuah tempat setelah orang meninggal yang penuh dengan kebahagiaan dan kekekalan. 

Tambak / Sandung

Rumah Bosar Mandi Angin

Uniknya, Dayak Pesaguan punya rumah panggung tradisional tersendiri yang disebut dengan Rumah Mandi Angin. Rumah Radakng menjadi rumah panggung tradisional dari suku Dayak Kanayatn, Rumah Panjai (Rumah Panjang) menjadi ciri khas dari Dayak Rumpun Ibanic (Dayak Iban atau Sea Dayak), serta Rumah Balok dari Dayak Bidayuh Sungkung. 

Rumah Adat Dayak Pesaguan - Rumah Mandi Angin

Rumah Mandi Angin saat ini masih bisa dijumpai di Desa Titi Buluh, Kecamatan Tumbang Titi (Ketapang - Kalimantan Barat). Rumah yang memiliki ketinggian sekitar 1 meter dari tanah dan berbentuk panggung memiliki anak tangga tepat di depannya. Secara keseluruhan, struktur bangunan ini terbuat dari kayu ulin yang kuat dan dilengkapi dengan berbagai bentuk ornamen di beberapa bagian sisi rumahnya.

Potret masyarakat Dayak tempo dulu (*ilustrasi Pesaguan)

Sistem Gelar Masyarakat Dayak Pesaguan

Dayak Pesaguan juga mengenal sistem gelar dalam kehidupan sosial masyarakat. Struktur sosial yang ada dalam masyarakat Dayak Pesaguan terdiri atas dua golongan yaitu Golongan Damong (bangsawan) dan Golongan Lawang Tangga' (masyarakat biasa). Golongan Damong memegang kekuasaan baik yang menyangkut pemerintahan maupun yang menyangkut adat istiadat terutama tentang adat kedemongan. Seseorang yang berhak menjadi seorang pemuka kampung (Damong) maka ia akan diberi “Pesalin”. Pesalin adalah pemberian “gelar adat” kepada mereka yang berjasa pada kampung halaman dan masyarakat atau dalam istilah bahasa adatnya “URANG BORAS MENGANTANG MANUK MENALI”.

Beberapa gelar dalam masyarakat Dayak Pesaguan yang diurutkan dari yang paling tinggi:

  • Cendaga
  • Mas Cendaga
  • Dur / Gurmala
  • Orang Kaya
  • Kenduruhan
  • Mas Kenduruhan
  • Petinggi / Ganda
  • Senapati
  • Patih
  • Patih Agung
  • Temenggung
  • Rakyat biasa / belum ada gelar

Tradisi Nikah-Kawin Dayak Pesaguan

Tradisi Upacara Perkawinan Adat Dayak Pesaguan

Dalam hal perkawinan, Dayak Pesaguan memiliki tiga  kasta  dalam  proses  upacara  pernikahan  yaitu nilai  rendah,  nilai  menengah  dan  nilai  tertinggi.  Hal ini yang membuat budaya Dayak Pesaguan berbeda dengan dayak lainnya tentang proses upacara perkawinan adat. Adapun adat-adat pernikahan Dayak Pesaguan saat prosesi pernikahan adatnya dan proses pernikahan adat dayak pesaguan nilai menengah, yaitu: (sc: Astianti Andika Saputri, Ismunandar, Imma Fretisari)

Pasorah Pasurung (penyerahan barang dari pengantin laki-laki)

Sebelum pelaksanaan pernikahan, pengantin laki-laki harus menyerahkan barang-barang tertentu kepada pihak perempuan. Barang-barang tersebut adalah:

  • Mangkuk lima singkar (lima buah mangkuk putih) sebagai lambang adat istiadat dan tata aturan dalam kehidupan sehari-hari dalam mencari jodoh serta sebagai lambang kesungguhan.
  • Parang sebilah (satu buah parang) lengkap dengan sarungnya sebagai lambang kebulatan hati  seorang laki-laki yang ingin menyunting seorang gadis.
  • Lambing sepucuk (tombak) sebagai lambang keperkasaan seorang laki-laki dan harapan mendapat keturunan sebagaimana keberhasilan membawa binatang buruan.
  • Pinggan dua singkar (dua buah piring putih) sebagai lambang kedua mempelai yang akan menjadi satu.
  • Pinggan sesingkar (satu buah piring putih) sebagai lambang tanggung jawab seorang laki-laki, yaitu sebagai tempat mengadu dan pemenuhan sandang pangan. 
  • Pinggan limasingkar (lima buah piring putih) dan mangkuk lima singkar (lima buah mangkuk putih) sebagai lambang status sosial dalam masyarakat yang disebut dengan piring bilangan mangkuk bilangan. Ada empat tingkatan bilangan yang dilambangkan dengan pinggan dan disebut dengan istilah semerogo, yaitu: 

    1. Semerogo sa’,  yaitu  pinggan dan mangkuk sesingkar untuk warga fakir miskin.
    1. Semerogo  tigo,  yaitu pinggandan  mangkuk  tiga singkar untuk warga biasa.
    1. Semerogo limo, yaitu pinggan dan mangkuk lima singkar untuk warga keturunan  penjabat  desa  dan  adat.  Namun, sekarang jumlah ini berlaku untuk semua tingkatan warga.
    1. Semerogo sepuloh, yaitu pinggan dan mangkuk sepuluh singkar untuk warga penjabat desa dan adat.

  • Sebuah tajau sebagai lambang harga diri.
  • Selembar batik sebagai lambang tanggung jawab pemenuhan kebutuhan rumah tangga.
  • Rantai marik (manik-manik)  sebagai tanggung jawab suami terhadap istri.
  • Lima batang tempuling bakakarau (tombak) yang melambangkan ikatan dalam masyarakat, keluarga dan sesama manusia.
  • Dua  buah cupu (tempat minyak wangi) yang  melambangkan keawetan perempuan sebagai istri.
  • Dua singkar  pinggan yang  melambangkan  peralihan  status  dari  masa remaja menjadi dewasa. Oleh karena itu, kedua mempelai dianugerahi gelar baru saat peresmian perkawinan nanti. 
  • Dua lembar batik sebagai lambang tanggung jawab anak menantu terhadap orang tua/mertua.
  • Selembar batik sebagai lambang tanggung jawab cucu terhadap nenek.
  • Sebatang seluakatau  sesingkar piring sebagai lambang tanggung jawab cucu terhadap kakek.
  • Sesingkar mangkuk, sebilah pisau, daun rosu, daun hahidup, air tuak, beras secukupnya, seekor ayam jantan sebagai lambang sahnya perkawinan.

Selain menyerahkan barang-barang diatas,  kedua mempelai harus menyerahkan sesingkar mangkuk sebagai bukti perjanjian akan menikah dan tidak akan bercerai. Namun, jika memang harus bercerai, maka terhadap pihak yang mengajukan cerai akan diberikan hukuman sesuai perjanjian kedua belah pihak dengan mempertimbangkan penyebab percerian.

Ma’arak Pangantin (mengarak pengantin)

Jika barang-barang yang harus diberikan kepada pihak perempuan sudah terpenuhi semua, maka pengantin laki-laki diarak dari rumahnya menuju tempat upacara yaitu dirumah  mempelai  perempuan. Pengantin perempuan hendaknya sudah menunggu di tempat upacara tersebut. Ma’arak pengantin dipimpin oleh wakil dari pihak pengantin perempuan sebagai  juru bicara (suruhan) untuk meminta beberapa barang kepada pengantin laki-laki, yaitu mangkuk lima singkar, beliung seputingan dan parang sebilah sebagai bukti kesungguhan laki-laki.

Pengantin laki-laki datang diiringi rombongan menuju rumah pengantin perempuan yang duduk diatas tikar atau gong di tempat upacara. Ketika pengantin laki-laki dan  rombongan masuk ke rumah tempat upacara,  mereka disambut dengan diberi minum segelas atau semangkuk tuak dan harus dihabiskan. Setelah itu, kedua pengantin duduk bersanding lalu diberi semangkuk tuak untuk diminum bersamasecara bergantian dan diberi rokok yang terbuat dari sirih untuk dihisap secara bergiliran pula.

Papalit Tandar (mengoleskan sesuatu pada bagian tubuh tertentu kedua pengantin)

Jika kedua mempelai telah duduk bersandingan, maka keduanya akan diolesi ramuan-ramuan atau disebut dengan tepung tawar berupa daun rosu, daun hahidup, tuak, beras yang dihaluskan dan air yang dicampur dengan darah ayam, kunyit putih dan sebilah pisau. Adapun bagian-bagian tubuh yang diolesi adalah sebagai berikut:

  • Pipi kiri dan kanan
  • Punggung belakang dan dada
  • Siku kiri dan kanan
  • Telapak tangan kiri dan kanan
  • Atas lutut kiri dan kanan
  • Tulang kering kiri dan kanan
  • Telapak kaki kiri dan kanan
  • Dahi
  • Ubun-ubun

Pasalin Pasibur (pemberian gelar dan panggilan akrab kepada kedua pengantin)

Jika proses pengolesan telah selesai dilaksanakan, maka selanjutnya kedua mempelai diajak menari oleh domong (pemimpin upacara) dan suruhan (juru bicara). Saat itu pula kedua pengantin akan mendapat gelar sesuai dengan status sosial mereka di masyarakat. Gelar tersebut digunakan untuk panggilan pada saat acara-acara adat tertentu.

Kedua pengantin juga diberikan panggilan akrab (tentimangan). Dalam aktivitas sehari-hari, mertua dan semua kerabat dekat kedua pengantin tidak boleh memanggil nama asli  menantunya, tetapi harus menggunakan nama tentimangan tersebut. Tentimangan merupakan pemberian nama panggilan sudah menikah dan sudah dewasa, panggilan tentimangan diberi oleh orang tua pengantin disesuaikan dengan karakteristik pengantin tersebut dan diputuskan oleh domong. Setelah proses pasalin pasibur selesai dilaksanakan, kedua  mempelai dianjurkan mandi di sungai untuk membuang sial.

Manoyikan Pengantin (mengantar pengantin laki-laki kerumah pengantin perempuan setelah tiga malam)

Walaupun sudah sah menjadi suami istri, tetapi kedua pengantin tidak boleh langsung tidur bersama hingaa tiga malam, yaitu setelah pengantin laki-laki diantarkan oleh keluarganya kerumah pengantin perempuan.

Tidak ada komentar:

Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta

Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:

1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan

Diberdayakan oleh Blogger.