Nek Miakng dan Pertempuran Sangking, Cikal Bakal Perayaan Cap Go Meh di Singkawang

misterpangalayo.com - Menurut wikipedia, Cap Go Meh adalah akhir dari rangkaian perayaan tahun baru Imlek yang dilakukan tiap tanggal 15 pada bulan pertama penanggalan Tionghoa. Istilah ini berasal dari dialek Hokkien dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama (Cap = Sepuluh, Go = Lima, Meh = Malam). Perayaan Cap Go Meh telah dilakukan sejak abad ke-17 Masehi pada masa Dinasti Han di Tiongkok, terutama saat migrasi masyarakat Tionghoa ke wilayah selatan Tiongkok, salah satunya adalah Pulau Kalimantan

Uniknya, Kota Singkawang yang notebane-nya kota pecinan terbesar di Indonesia merayakan Cap Go Meh menyertakan parade atraksi Tatung yang tidak bisa ditemukan di Dataran Tiongkok sekalipun. Sehingga perayaan Cap Go Meh di Bumi Gayung Bersambut (julukan untuk kota multi etnis ini) mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Indonesia dengan menjadikannya sebagai event nasional yang selalu mendatangkan turis asing dari berbagai negara di Asia, bahkan hingga luar Asia.

Kemegahan Perayaan Cap Go Meh terbesar di Indonesia ini mempunyai drama sejarah yang melibatkan penduduk lokal (baca: Dayak-red) dan Kongsie Lan Fong (baca: Republik Lan Fang). Kongsie Lan Fong merupakan sebuah negara kecil yang berdiri merdeka (*masih perlu rujukan) di Pulau Borneo bagian barat oleh bangsa Tionghoa Hakka pada tahun 1777 sampai akhirnya bubar karena diserang oleh Belanda pada tahun 1884.

Pemberontakan di Kalimantan Barat antara Kongsie dan Penduduk Lokal

Pertempuran Sangkikng

Menurut cerita, tahun 1784 M telah terjadi pertempuran di pemukiman Dayak Mampawah tepatnya Pegunungan Sadaniang yang banyak menewaskan penduduk lokal karena diserbu oleh tentara Republik Lan Fang. Pertempuran ini dikenal dengan Pertempuran Sangking (baca: Sangking), mulai terjadi di daerah Pasir Putih (kini sebuah desa di Kec. Sadaniang Kab. Mempawah) dan berakhir di daerah Air Mati. Tidak sedikit penduduk lokal terbunuh dengan kondisi kepala dipancung yang digantung dipagar-pagar rumah betang.

Selain itu, rumah betang dibumi hanguskan dan penduduk yang selamat melarikan diri menggunakan perahu dengan menyusuri sungai dan berakhir di daerah Capkala dan sebagiannya mengungsi di daerah kampung Bangkam (kini kedua daerah tersebut berada dalam Kec. Capkala Kab. Bengkayang). Para pengungsi yang selamat menyebarkan berita tentang penyerbuan yang dilakukan oleh pihak Kongsie kepada masyarakat setempat hingga menyebar ke kampung-kampung Dayak lainnya. 

Sebagian penduduk di kampung Pudak (Kab. Bengkayang) yang dipimpin oleh Ne' Sapi memutuskan untuk menyelamatkan diri ke arah utara dan akhirnya penduduk tersebut menetap di Kampung Rukapm (baca: Rukam), daerah tersebut masuk dalam Distrik Lundu, Sarawak, Malaysia. Sebagian masyarakat kampung Pudak yang tidak mengungsi memilih bertahan, salah satunya adalah keluarga Ne' Miakng (juga dikenal Pak Miang atau Pang Milang).

The Realm of Lan-Fang Republic, Western Borneo of Malay \\ Sumber Baidu China

Ne' Miakng memutuskan untuk mempertahankan kampungnya agar tidak seperti kampung-kampung lainnya yang sudah dibakar oleh pasukan Kongsie Lan Fang. Dengan kepercayaan yang dimilikinya, Ne' Miakng mengadakan ritual Mato' (ritual Dayak Salako: bertukar dengan sumangat dari orang atau mahluk lain sebelum berperang) di Padagi (tempat ritual/ibadah agama Karimawatn atau agama Jubata). Setelah melakukan ritual tersebut, Ne' Miakng kembali ke kediamannya dan membunuh seluruh anggota keluarganya.

Ne' Miakng berkeyakinan bahwa lebih baik dia yang membunuh keluarganya daripada mati ditangan pasukan Lan Fang. Setelah itu, Ne' Miakng menyusuri sungai menggunakan perahu untuk pergi menyusul sebagian penduduk sebelumnya yang telah mengungsi lebih awal. Setiba di kampung Bangkapm (baca: Bangkam), Ne' Miakng mengumpulkan 300 pemuda dari berbagai kampung sekitarnya untuk bergabung memukul mundur pasukan Lan Fang. 

Ne' Miakng dan pasukannya mulai menyerang pemukiman Tionghoa di Sungai Raya dan menyebabkan semua penduduk Sungai Raya mati akibat serangan kayo (menebas kepala). Sebagian pasukan Ne' Miakng juga menaklukan Pasar Bukit dengan membakar salah satu kawasan ekonomi Republik Lan Fang tersebut. Para petinggi Kongsie Lan Fang di Mandor (sekarang Kab. Landak), ibukota pemerintahan Republik Lan Fang, menjadi panik atas penyerangan terhadap warganya di Sungai Raya dan Pasar Bukit oleh pasukan Ne' Miakng.

Petinggi Lan Fang tidak tinggal diam, kongsi-kongsi dari daerah seperti Singkawang, Buduk, Lara, dan Menterado bersatu untuk menghadapi Ne' Miakng dan pasukannya. Sementara itu, Ne' Miakng kedatangan tamu dari daerah Gajekng, Bilado, Gado, dan sekitarnya menyatakan untuk bergabung berjuang melawan pasukan Lan Fang. Mereka juga datang dengan niat lain yaitu ingin mendapat bagian atas harta rampasan (emas/tambang emas) milik Republik Lan Fang apabila berhasil menaklukkan daerah-daerah Lan Fang. Sekarang daerah tempat pertemuan ini dikenal dengan nama Samalantan/Sama Lantatn (sebuah Kecamatan di Kab. Bengkayang).

Pada tahun 1786 M, pertempuran besar kembali terjadi di Monterado (kini kecamatan di Kab. Bengkayang). Pasukan Ne' Miakng berhasil menduduki istana Kongsie Hesun dan berhasil membunuh kurang lebih 2.000 warga Tionghoa baik itu para penambang emas maupun tentara Lan Fang. Dewasa ini, bukti kemenangan atas pertempuran tersebut masih bisa disaksikan bernama Batu Abo', di daerah Desa Nyempen Kec. Monterado. Menurut cerita, dibawah batu Abo' tertimbun ribuan kepala penambang dan tentara republik dalam satu lubang. Sisa pasukan Lan Fang di Hesun berhasil melarikan diri dan bergabung dengan pasukan kongsi Thai kong di Sambas.

Setelah menduduki kawasan tambang emas di Monterado, Ne' Miakng meminta seluruh pasukannya untuk kembali ke kampung masing-masing guna antisipasi serangan balik dari pihak Republik Lan Fang. Beberapa waktu kemudian, Ne'Miakng bermaksud untuk menyerang markas tentara Lan Fang di desa Singkawang sendirian. Sesampai disana, Ne' Miakng tanpa ampun membunuh sekitar 600 warga Tionghoa yang ditemuinya tanpa ampun, mulai dari bayi hingga lansia, baik itu laki-laki maupun perempuan.

Keesokan harinya, ada rombongan 100 tentara Lan Fang datang ke desa Singkawang (kini Kota Singkawang) dan menyaksikan banyak warga Lan Fang telah mati dengan kondisi kepala dan badan terpisah dimana-mana. Hingga pasukan Lan Fang tersebut menemukan Ne' Miakng sedang memanggang daging manusia (hasil mengayau) di pinggir pantai dan Ne' Miakng di kepung oleh pasukan Lan Fang. 

Ne' Miakng hanya tertawa kecil dengan pengepungan tersebut, karena Ne' Miakng masih kebal akan senjata tajam pasca melakukan ritual Mato' sebelumnya. Ne' Miakng dibanjiri peluru dari Senapang Lantak, tombak, dan anak panah. Alhasil, Ne' Miakng tidak luka sedikitpun dan menyerang balik menghabisi semua pasukan Lan Fang. Hari berikutnya, 200 pasukan Lan Fang tiba di Desa Singkawang dan menyaksikan kembali mayat dimana-mana, serta melihat Ne' Miakng sedang membakar mayat-mayat akibat tangkitnnya (senjata tradisional Dayak Salako, sejenis Mandau) dan memakan hati serta jantungnya. Pasukan Lan Fang tersebut menyerang dan mati di tangan Ne' Miakang lagi.

Kabar kesaktian Ne' Miakng tersebar hingga ke penjuru negara Lan Fang, hingga para tetua kongsie yang ada di Republik Lan Fang mengadakan ritual/sembahyang di klenteng yang terletak di muara Sungai Selakau (Sunge Salako) untuk meminta kekuatan baru guna mengalahkan Ne' Miakng. Ratusan dukun (tatung) yang dikirim untuk membunuh Ne' Miakng pun bisa dikalahkan olehnya.

Ketua Kongsie Thai Kong frustasi dengan situasi tersebut karena ratusan tentara dan dukun tanpa sisa berhasil dibunuh oleh Ne' Miakng. Lalu, petinggi kongsie pun mengirim mata-mata (dari pribumi yang tunduk atas Penguasa Lan Fang) untuk mendekati dan mengetahui kelemahan Ne' Miakng. Namun rencana itu cepat tercium oleh Ne' Miakng dan membunuh mata-mata yang dikirim kepadanya.

Jenderal dari Republik Lan Fang pun tidak bisa menahan emosinya, ia turun tangan sendiri memimpin 2000 pasukannya untuk membunuh Ne' Miakng. Disisi lain, sang Jendral khawatir dengan kesaktian Ne' Miakng bisa menjadi Raja/Penguasa Dayak dan memprovokasi bangsa Dayak yang sudah setia kepada Republik Lan Fang untuk bergabung bersama Ne' Miakng dan memberontak melawan negara atau kongsie-kongsie.

Potret Masyarakat Dayak pada masa pendudukan Lan Fang || Sumber Baidu China

Kematian Ne' Miakng

Suatu malam, dalam tidurnya Ne' Miakng telah didatangi roh istri dan anak-anaknya. Istrinya meminta Ne' Miakng untuk berhenti membunuh dan karena dendam darah sudah terbayarkan berlebihan. Istrinya juga meminta agar Ne' Miakng minta dibunuh oleh pasukan Lan Fang. Ne' Miakng pun terbangun dan terdiam mendalami arti mimpinya, tiba-tiba Ne' Miakng menangis dan menyesali perbuatannya akibat sangat berlebihan menghabisi nyawa yang tidak bersalah.

Tiba-tiba, pasukan Lan Fang yang dipimpin oleh sang Jendral pun mengepungnya. Ne' Miakng dalam posisi tidak melawan dan berhasil diikat, lalu dilemparkan ke lautan. Karena kesaktiannya, Ne' Miang tidak mati dan kembali dibawa ke daratan oleh pasukan Lan Fang. Ne' Miang kembali ditombak dengan besi panas dan tidak melukainya sedikitpun. Dari kejauhan Ne' Miakng melihat salah satu tentara Lan Fang yang mirip dengan salah satu anak lelakinya.

Ia pun menangis dan teringat dengan mimpinya semalam. Ne' Miakng pun berteriak dengan sangat keras kepada sang Jendral menyampaikan kelemahannya (dibunuh dengan menggunakan sebuah kayu keramat), dan minta segera dibunuh. Jendral itu tersenyum, dan meminta tentaranya untuk mencari jenis kayu sebagaimana yang dimaksudkan Ne' Miakng. Kayu itu pun berhasil menembus dada dan membunuh Ne' Miakng seketika.

Tatung dan Perayaan Cap Go Meh

Terbunuhnya Ne' Miakng disambut suka cita oleh seluruh masyarakat Lan Fang. Semua tokoh Dayak dari berbagai benua (wilayah adat masing-masing) mendapat berita tersebut dari utusan Republik Lan Fang dan meminta para tokoh Dayak dan penduduk adatnya untuk menghadiri perayaan tersebut dan menghormati Ne' Miakng yang sudah tewas ditangan pihak Lan Fang. Mayat Ne' Miakng selama seharian diarak berkeliling kampung oleh tentara Lan Fang. Dengan arakan tersebut menegaskan kepada masyarakat Dayak untuk tidak pernah berniat untuk memberontak lagi karena Ne' Miakng yang sakti saja bisa tewas.

Untuk mengenang tragedi yang bersifat heroik dan penuh pertumpahan darah, maka setiap tahun selalu diadakan perayaan arakan keliling kampung yang menghadirkan para dukun/tatung yang kebal akan senjata tajam, berpakaian panglima/jendral tentara kongsie. Seiring berjalannya waktu, kini perayaan arakan tatung tersebut digabungkan ke dalam perayaan Cap Go Meh yang juga dihadiri oleh suku Dayak yang juga menjadi tatung.

Dewasa ini, daerah tempat terbunuhnya Ne' Miakng atau Pak Miang atau Pang Milang diabadikan menjadi nama sebuah kelurahan di Kota Singkawang, yaitu Kelurahan Pangmilang Kecamatan Singkawang Selatan. Hingga saat ini, atraksi tatung menjadi ritual wajib dalam setiap perayaan Cap Go Meh di Sambas, Singkawang, dan Bengkayang karena adanya sumpah pada zaman itu (oleh keturunan Kongsie) dan menjadikannya sebagai tolak bala bagi masyarakat Tionghoa di Singkawang dan sekitarnya, sekaligus memperingati peristiwa terbunuhnya NE' MIAKNG.

Desa Singkawang yang kini berubah menjadi sebuah Kota yang indah || Sumber Borneo Skycam



Note:
Narasumber: Singa Bagigit, kepala binua ohak kec.menjalin, seorang dari keturunan Pak Miakng
Tulisan Yohanes S. Laon berjudul Perayaan Cap Go Meh dan Sejarahnya Menurut Dayak Mempawah
Sumber Pendukung Lainnya

3 komentar:

  1. Apakah di negeri tiongkok sendiri tidak ada cap go meh ini?

    BalasHapus
  2. ternyata ada cerita fersi lain🙏

    BalasHapus

Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta

Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:

1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan

Diberdayakan oleh Blogger.