Pemukiman Suku Tionghoa di Kota Singkawang Abad Ke-19

misterpangalayo.com - Sebuah laporan instansi pemerintahan kolonial tahun 1918 menyatakan bahwa pada orang Tionghoa yang berada di onderafdeeling Singkawang berjumlah 17.410 orang dan sekitar 16.000 orang Tionghoa tersebut mengelola pertanian (Het Chineesche Zakenleven, 1926: 257). 


Berbicara mengenai pertanian, orang Tionghoa ternyata tidak hanya membangun kongsi di bidang pertambangan emas, namun juga beberapa dari mereka mendirikan kongsi pertanian. Pada awal kedatangan mereka di paruh kedua abad ke-18, dua kongsi yang bergerak pada bidang pertanian mulai didirikan.

Pertama adalah Thien-Thi-Foei yang berada di bawah pimpinan Lioe Sam Pak yang menguasai wilayah pertanian di Rantau, Pakucing, Wonglittung dan Kulor. Kongsi yang kedua adalah Lan-Fong-Foei dibawah pimpinan Lo Thai Pak yang didirikan sekitar 1772-1774 (van Meeteren Brouwer, 1927:1058).

Sebagai contoh adalah daerah Sjakok. Sja kok yang berarti tikungan batu, merupakan pemukiman dengan penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani. Pemukiman di sekitar Singkawang yang mengusahakan bertanam padi dan sayur-mayur. 

Cara mereka bertani padi menggunakan cara dari daerah asal mereka di Tiongkok bagian selatan. Daerah pesisir pantai dibangun saluran irigasi untuk perladangan padi. Sedangkan di dataran rendah mengusahakan pesawahan padi basah.

Sekalipun pertanian di Singkawang telah mulai diusahakan pada awal kedatangan mereka di sana, namun tidak dipungkiri bahwa kemunduran kongsi, karena perselisihan sesama kongsi yang akhirnya diintervensi oleh pemerintah kolonial, sedikit demi sedikit telah mengubah orientasi orang Tionghoa yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada pertambangan emas.

Pada masa Perang Kongsi sekitar tahun 1854, sedikitnya 1.200 rumah yang mengusahakan pertanian ditemukan di sepanjang pantai di sekitar Singkawang sampai Pajintan (van Meteeren Brouwer, 1926: 1084). 

Hal ini terlihat dalam peta Singkawang di Atlas van Tropisch Nederland 1938 dan peta dari van Diessen. Peta tersebut memperlihatkan bahwa sepanjang wilayah Sjakok, mulai dari batas selatan di Sedau sampai batas utara Djawa Pasiran merupakan lahan pertanian padi.

Di antara lahan pertanian padi tersebut terdapat sebuah jalan. Sedangkan lahan di sepanjang wilayah tersebut yang mendekati pesisir pantai ditumbuhi dengan perkebunan kelapa. Veth dalam Heidhues menggambarkan bahwa sekeliling Singkawang terdapat sawah yang dikelola dengan baik oleh para laki-laki Tionghoa.

Selain itu para petani inilah yang memperkenalkan sayur mayur yang biasa ditanam di Tiongkok. Sebuah tulisan pada tahun 1874 mencatat bahwa tanaman sayur yang ditanam petani tersebut antara lain adalah lobak, sla (sawi/ selada), prei dan seledri. Para petani ini tinggal di pemukiman terpisah dengan bentuk rumah yang terpisah tidak seperti rumah di pemukiman pasar.

Sekip Lama, Pasiran

Sebenarnya, sepanjang wilayah yang disebut Sja kok pada peta tersebut terdapat beberapa pemukiman Tionghoa. Nama-nama pemukiman ini disesuaikan dengan keadaan yang ada di lingkungan sekitarnya. Pemukiman dengan nama Jam Tang yang berarti bendungan/ lapangan garam merupakan sebuah pemukiman yang penghuninya mengusahakan pembuatan garam.

Pembuatan garam di wilayah ini kurang mendapatkan hasil yang memuaskan karena kadar garam yang rendah yang disebabkan oleh melimpahnya air tawar di sungai-sungai yang bermuara di laut. Wilayah Jam Tang saat ini telah diindonesianisasi dengan sebutan Padang Pasir mengingat wilayah ini juga disebut Sa Liung (tanah pasir).

Pemukiman yang bernama Kopisan yang berarti kebun kopi berada sekitar Sja kok. Menurut masyarakat sekitar terdapat kebun kopi. Saat ini wilayah tersebut bernama Tanjung Batu Dalam. Di sebelah selatan terdapat Sip Sam Hong yang berarti 13 jalur atau 13 pintu yang sekarang menjadi kampung Karang Intan.

Pemukiman Dayak, La Ci Buk, di wilayah selatan Singkawang menunjukkan bahwa di wilayah ini tidak hanya dihuni oleh orang Tionghoa saja walaupun kemudian pemukiman kelompok lain tersebut terpisah. 

Wilayah yang sekarang disebut Sedau Pasar pada masa itu merupakan sebuah pemukiman yang bernama Atap Kong yang berarti Sungai Atap. Diperkirakan pemukiman yang ada pada masa itu adalah pasar dengan bangunan beratap nipah atau pasar yang memperdagangkan atap.

Sepanjang jalan yang membelah wilayah yang disebutkan dalam peta sebagai Sjakok merupakan padang pasir berwarna putih. Jenis tanah yang paling dominan adalah tanah podsolik merah kuning yang berasosiasi dengan litosol (Kota Singkawang, 2009). Tanah Hat yang terkandung di dalam tanah tersebut sangat cocok untuk digunakan menjadi keramik.

Penggalian kaolin untuk pembuatan keramik masih dilakukan secara intensif sampai pertengahan abad ke-20. Selebihnya didatangkan dari daerah Cap Kala, sebuah pecinan yang berada di wilayah tenggara Singkawang. 

Beberapa orang Tionghoa yang datang wilayah ini pada awal abad ke-20 membentuk kongsi pembuatan keramik. Orang-orang Tionghoa ini merupakan perantau dari Tiongkok Selatan yang mengadu nasib di Singapura dan ketika mengetahui kandungan kaolin yang begitu besar di wilayah ini mereka datang dan membangun pabrik keramik.

Tempayan sebagai penampung air hujan merupakan produk yang paling diminati dan dibutuhkan masyarakat setempat selain tempayan untuk tempat mengawetkan bahan makanan dan arak. Pada awalnya, perusahaan keramik tersebut hanya membuat keramik berbadan besar dan tanpa glasur dan ukiran. Namun, ketika permintaan keramik sebagai perangkat ritual religius Tionghoa semakin tinggi maka teknik ukiran dan penglasiran semakin ditingkatkan.

Pengglasiran menggunakan warna-warna yang alami. Lokasi pembuatan keramik yang dekat dengan pantai membuat mereka dapat memanfaatkan kerang sebagai campuran dari ilalang untuk menghasilkan glasir dengan warna hijau keabu-abuan. 

Pada keramik Tiongkok, glasir merupakan komponen utama dalam menentukan usia keramik. Usaha ini berkembang pesat sampai akhir abad ke-20, Bahkan pekerjanyapun sempat dikirim ke Bangka untuk mengelola usaha yang sama.

Kedatangan orang Tionghoa rutin terjadi setiap tahun sejak dibukanya kongsi walaupun sempat dibatasi pada masa Perang Kongsi. Bahkan kedatangan orang Tionghoa yang membuat kongsi keramik pada akhir abad ke-19 menunjukkan bahwa kedatangan orang Tionghoa semakin meningkat.

Kewajiban menggunakan surat jalan sebenarnya telah dimulai sejak masa awal kedudukan VOC. Pada masa itu kewajiban ini diberlakukan untuk orang Jawa termasuk di dalamnya orang-orang Banten. Hal ini merupakan akibat dari pertempuran VOC dengari kerajaan Mataram dan Banten pada abad ke-17.

Bahkan, VOC melarang orang-orang Jawa untuk masuk ke kota kecuali dengan ijin khusus dari Gubernur Jendral. Sebelum terjadinya persetujuan dengan kerajaan Banten tahun1658 dan kerajaan Mataram pada 1677, orang Jawa hanya diperbolehkan memasuki pelabuhan saja dan tidak boleh menginap (Lohanda dalam Jurnal Sejarah, 2005: 61).

Peraturan tersebut tetap diberlakukan pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, terutama untuk orang Tionghoa, dengan diumumkannya sistem surat jalan untuk mengawasi pergerakan orang Tionghoa dan pribumi lain dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie tahun 1816 No.25.

Dengan diberlakukannya passenstelsel, orang Tionghoa yang akan bepergian keluar dari pemukimannya harus membuat permohonan berupa surat jalan kepada chineesche wijkmeteer (kepala pemukimannya). 

Formulir informasi kepergian biasanya memuat tentang tempat tujuan kepergian, transportasi, lama kepergian, teman yang menyertai, maksud kepergian. Mereka membayar sekitar 0,50- 1 gulden untuk sebuah surat jalan (Lohanda, 2005: 62).

Namun walaupun begitu, ketergantungan penduduk Batavia demikian juga pemerintah kolonial Belanda terhadap orang Tionghoa dalam bidang ekonomi terus berlanjut. Pemungut pajak yang kebanyakan orang Tionghoa kadang mudah saja mendapatkan surat jalan dengan alasan mengerjakan kepentingan pemerintah.

Pemenuhan kebutuhan sehari-hari penduduk dilakukan oleh tukang klontong Tionghoa bahkan hanya dengan perantaraan orang Tionghoa, barang dari eksportir Eropa dapat menjangkau penduduk di pedalaman. Orang Tionghoapun terbiasa meminjamkan uang pada penduduk desa.

Tahun 1920an - Masa Pemerintahan Hindia Belanda di Kota Singkawang

Orang Tionghoa Borneo Barat dapat dikatakan lebih leluasa apabila dibandingkan dengan Tionghoa di Jawa karena passenstelsel yang diterapkan di Jawa dan Madura baru dapat dijalankan di Borneo Barat pada tahun 1920-an (Heidhues, 2008: 137). Saudagar kaya, Xie Shou Shi, yang sangat berpengaruh di Singkawang dapat masuk dan mengelola dengan bebas usaha perkebunan dan perdagangan karet dan kopra dengan Singapura dengan membuat dermaga di sungai Singkawang.

Ani Rahmayani, S.S. 
Pemukiman Tionghoa di Singkawang Abad Ke-19: Sejarah Kota Bercirikan Tionghoa. Pontianak: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2010. 
Hlm.: 57-62

Tidak ada komentar:

Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta

Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:

1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan

Diberdayakan oleh Blogger.