Cerita Rakyat Sambas: Legenda Asal Usul Pulau Pontianak di Pesisir Jawai

misterpangalayo.com - Pada zaman dahulu kala, ketika bumi masih muda dan hutan-hutan pesisir Kalimantan belum terusik oleh tangan manusia, di pesisir utara yang kini dikenal sebagai Jawai, berdiri sebuah kampung tua bernama Telok Setambun. Kampung ini dihuni oleh suku campuran Dayak pesisir dan Melayu tua yang hidup dari laut, hutan, dan alam sekitar yang mereka anggap suci dan berjiwa.

Mereka percaya bahwa setiap pohon, batu, dan ombak memiliki penunggu. Oleh karena itu, segala tindakan harus dilakukan dengan permisi. Mereka hidup harmonis, hingga datang masa perubahan, masa yang digerakkan oleh keserakahan manusia dari luar.

Nek Pontia, Sang Penjaga Batas

Di ujung kampung itu, dekat muara sungai yang menyatu dengan laut, hiduplah seorang perempuan tua yang dikenal sebagai Nek Pontia. Ia bukan perempuan biasa. Konon, ia adalah anak manusia dan makhluk gaib penghuni rimba, lahir saat gerhana matahari total yang terjadi di atas Bukit Batu Merah. Rambutnya panjang, merah seperti bara api, dan kulitnya seputih kapur laut. Ia mampu berkomunikasi dengan roh hutan dan binatang, serta dikenal sebagai penjaga batas antara dunia manusia dan dunia halus.

Nek Pontia bukan hanya penyembuh, ia juga pelindung kampung. Bila laut bergelora dan perahu-perahu nelayan nyaris karam, masyarakat akan membakar kemenyan dan memanggil nama Pontia agar badai reda. Bila anak hilang di hutan, ia yang dicari. Masyarakat menghormatinya, tapi juga takut padanya karena mereka tahu, di balik kelembutannya, tersimpan kekuatan yang tak bisa dijinakkan.

Kedatangan Radin Sakti

Suatu hari, sebuah kapal besar bersandar di pesisir. Kapal itu milik saudagar muda dari Kesultanan Brunei bernama Radin Sakti. Ia seorang pengembara, berdagang kain, rempah, dan logam mulia ke berbagai wilayah pesisir Kalimantan. Ia datang membawa kekayaan dan senyum licik.

Saat Radin bertemu dengan Nek Pontia, ia langsung terpikat. Tapi bukan hanya oleh kecantikannya melainkan juga oleh kekuatan yang terpancar dari tubuh perempuan tua itu. Radin Sakti tahu bahwa jika ia bisa menguasai Pontia, ia bisa menguasai lautan, cuaca, dan harta kampung.

Ia melamar Pontia dengan hadiah emas dan mutiara, tapi ditolak. Pontia berkata, “Aku bukan milik manusia. Aku dijaga oleh alam, dan aku menjaga alam.

Hasutan dan Fitnah

Tertolak dan marah, Radin menyusun siasat. Ia menyebarkan fitnah bahwa Nek Pontia adalah penyebab hasil laut berkurang, anak-anak sering sakit, dan badai datang lebih sering. Ia menyogok beberapa kepala keluarga dengan garam, tembakau, dan kain batik.

Masyarakat mulai terpecah. Mereka yang dulu memuliakan Pontia, kini memandangnya dengan curiga. Suatu malam, saat laut surut dan angin tenggara menderu, Radin memimpin sekelompok pemuda untuk membakar pondok kediaman Pontia.

Namun, api tak membakar tubuhnya. Justru kobaran api itu mengikuti tubuhnya saat ia berdiri di atas batu karang di tepi laut.

Kutukan Pontia dan Terbelahnya Tanah

Dengan kedua tangan terangkat, rambutnya berkibar seperti nyala api, Pontia berseru dengan suara tiga lapis yiatu suara perempuan, suara laut, dan suara angin:

“Kalian membakar penjaga batas, maka batas itu kini hilang. Daratan akan terbelah! Tanah ini tak akan utuh seperti hatimu yang penuh iri. Dengarkan, wahai bumi dan laut, pisahkan tempat ini dari daratan!”

Langit menjadi hitam. Petir menyambar. Tanah tempat Pontia berdiri mulai retak dan air laut masuk memisahkan daratan. Dalam semalam, bagian tanah itu terpisah dan menjadi pulau kecil. Radin Sakti dan beberapa orang tenggelam dalam pusaran arus. Sementara Pontia menghilang bersama kabut yang naik dari laut.

Esok harinya, masyarakat terbangun dan melihat tanah yang semalamnya masih satu, kini telah menjadi sebuah pulau terpisah di seberang kampung. Mereka menamakannya Pulau Pontianak, sebagai pengingat akan kutukan Pontia dan kesalahan mereka sendiri.

Misteri di Pulau Pontianak

Sejak itu, Pulau Pontianak menjadi tempat yang dikeramatkan. Nelayan enggan berlabuh di sana, terutama saat malam atau bulan purnama. Mereka percaya, jika ada yang berniat jahat atau menyebut nama Pontia tanpa hormat, akan tersesat dan tidak bisa kembali.

Namun, ada juga yang percaya bahwa pada waktu-waktu tertentu, suara nyanyian kuno bisa terdengar dari pulau itu, dan sesekali terlihat bayangan perempuan berambut api berjalan menyusuri pantai, menatap laut dengan penuh kesedihan mungkin menunggu saat di mana manusia kembali menghargai alam seperti dulu.

Penutup

Pulau Pontianak di pesisir Jawai bukan hanya seonggok tanah di tengah laut. Ia adalah simbol kesakralan, kesalahan manusia, dan kekuatan alam yang tak bisa diperdaya. Legenda ini diceritakan turun-temurun oleh para tetua nelayan, bukan sekadar dongeng, melainkan peringatan: bahwa bila manusia merusak penjaga alam, maka alam akan mengambil kembali haknya dengan caranya sendiri.

Tidak ada komentar:

Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta

Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:

1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan

Diberdayakan oleh Blogger.