CERITA RAKYAT SAMBAS: Asal Usul Gunung Senujuh
misterpangalayo.com - Betapa gagahnya Gunung Senujuh, berdiri tegak bagaikan seorang tentara yang sangat hebat. Menjulang tinggi mencapai langit biru, menembus awan-awan lembut tanpa rasa takut. Gunung Senujuh berdiri sepanjang hari dan diapit 3 sungai nan indah, yaitu Sungai Sambas, Sungai Senujuh, dan Sungai Perigi Piai. Luasnya 585,90 hektar dengan panjang 12.628,50 meter penuh dengan warna hijau yang membuat mata menjadi sejuk.
Secara administratif, gunung ini terletak di Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Menurut Stanley Karnow (1964) peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan dan kepulauan Indonesia lainnya melalui semenanjung Malaka. Mereka yang menuju Kalimantan Barat, memasuki muara suangai Sambas dan Salako. Kelompok yang memasuki sungai Sambas, banyak bermukim di kaki bukit Senujuh.
Menurut Simon Takdir (2007) Kelompok Austronesia yang bermukim di kaki bukit Senujuh ini, karena jumlahnya kecil, akhirnya hilang karena ditaklukkan dan berbaur dengan penduduk yang lebih dulu datang ke daerah itu. Pembauran ini melahirkan nenek moyang suku yang disebut suku Kanayatn atau Rara dengan ragam-ragam bahasa mereka yaitu bakati’, ba nyam, dan ba nyadu’. Di kawasan ini, sekitar tahun 1291 berdiri sebuah kerajaan bercorak Hindu dan rakyatnya menganut agama tradisional dan Hindu (Kaharingan).
Menurut cerita rakyat Dayak Kanayatn, kawasan gunung Senujuh merupakan tempat tinggalnya Panglima Marabatn Ampor. Cerita lainnya, menyebutkan bahwa gunung Senujuh dijaga atau jelmaan dari 7 puteri yang melawan duate dari Sekadim untuk membuat gunung dalam satu malam.
Terlepas dari cerita tersebut, masyarakat Sambas pada umumnya meyakini jika gunung Senujuh yang berdiri kokoh menjulang tinggi itu terbentuknya melalui kisah asal usul yang menarik.
Kisahnya sebagai berikut:
Gunung Sinujuh terletak di dekat muara daerah Sejangkung, berkisar belasan kilometer dari kota Sambas. Gunung ini terbentuk karena konflik antara dua daerah yang memperebutkan satu wilayah. Pemimpin dari daerah Sebatok bernama Datok Siba dan pemimpin dari daerah Sinujuh bernama Ki Sinu, keduanya seorang petapa.
Awalnya dua daerah itu menjalin hubungan baik. Mereka tidak pernah memiliki permasalahan yang sampai memecah belah hubungan mereka. Hubungan mereka seperti kumbang dan bunga yang saling menguntungkan satu sama lain. Apabila ada permasalahan mereka saling membantu. Penyelesaian masalah tersebut dilakukan secara bermufakat.
Di suatu hari, pimpinan daerah Sebatok yaitu Datok Siba dan pemimpin daerah Sinuju yaitu Ki Sinu pergi berburu bersama. Mereka berburu tidak jauh dari desa. Tak di sengaja mereka menemukan daerah/wilayah yang sangat subur. Di wilayah tersebuyt tumbuh berbagai jenis tumbuhan dan berbagai jenis hewan. Tanahnya subur, dan berdekatan dengan muara besar.
“Wah, subur sekali daerah ini. Banyak tumbuh-tumbuhan, hewan dan berdekatan dengan muara,” seru Datok Siba. “Bagaimana kalau kita buat pemukiman saja di sini?” Usul Ki Sinu. Datok Siba setuju.
Mereka pun pulang ke desa masing-masing. Keesokan harinya, Ki Sinu berkehendak pergi ke Desa Sebatok menemui Datuk Siba. Dia ingin membicarakan tentang pembagian wilayah yang ditemukan dekat muara besar kemarin.
“Datuk, bagaimana pembagian wilayah yang ada di dekat muara besar itu?” tanya Ki Sinu.
“Oh, itu soal mudah, karena aku yang menemukannya terlebih dahulu jadi wilayah milikku lebih besar dari wilayah milikmu. Lag! pula wargaku lebih ramai dari pada wargamu.” Jawab Datuk Siba.
Ki Sinu menjawab dengan memukul meja Datuk Siba, “Mana boleh seperti itu, kita harus bagi rata wilayah itu. Tidak boleh ada kurang tidak boleh ada lebih.”
Perdebatan berlangsung lama, Ki Sinu langsung pulang meninggalkan Desa Sebatok. Di tengah perjalanan dia berpikir untuk mendapatkan wilayah yang sama rata.
Keesokan harinya pergi lag! ke Desa Sebatok untuk menemui Datuk Siba. Sesampainya di rumah Datuk Siba, Ki Sinu langsung mengusulkan pendapat untuk menyatukan daerah mereka menjadi satu. Tetapi Datuk Siba menolak dapat tersebut. Datuk Siba langsung menyuruh Ki Sinu pulang. Ki Sinu pulang dengan perasaan marah. Di rumahnya, sepulang dari Desa Sebatok dia langsung memikirkan cara untuk merebut utuh wilayah dekat muara tersebut. Ternyata di saat kepulangan Ki Sinu, Datuk Siba juga memikirkan juga ingin merebut Desa Sinujuh.
Di suatu malam, seluruh warga Desa Sebatok menyerang Desa Sinuju. Tetapi di tengah perjalalan, mereka bertemu warga dari Desa Sinujuh yang juga ingin menyerang Desa Sebatok. Tidak sampai di desa, peperangan di mulai di antara Desa Sebatok dan Sinujuh. Peperangan itu tidak dapat dielakkan. Satu per satu warga desa Sebatok dan Sinujuh tewas. Warga dari kedua desa itu yang tersisa tidak lebih dari setengah warga dari warga desa awal.
Perbincangan pemimpin dari kedua daerah terjadi saat peperangan. Ki Sinu berkata, “Datuk, dari pada berperang yang dapat memakan banyak korban dalam waktu yang lama, lebih baik kita selesaikan dengan cara lain.”
“Tapi dengan cara yang bagaimana?” Tanya Datuk Siba.
“Lebih baik kita berlomba membuat gunung di wilayah dekat muara besar itu. Saya akan membuat di sebelah selatan muara dan kamu membuat di sebelah utara muara,” jawab Ki Sinu.
“Baiklah kalau begitu cara yang terbaik,” ujar Datuk Siba. Lomba tersebut selama satu bulan. Barang siapa gunungnya lebih tinggi, dia yang menang dan berhak memiliki daerah tersebut.
Dua hari berlalu, lomba membuat gunung pun dimulai. Dengan sangat gigih seluruh warga Desa Sebatok mengumpulkan batu dan tanah. Begitu pula dengan warga Desa Sinujuh.
Setelah dua minggu perlombaan, gunung-gunung yang mereka buat pun sudah tinggi. Gunung keduanya kurang lebih sama tinggi. Minggu ketiga tiba, ketinggian gunung mereka masih sama. Ki Sinu berpikir di dalam hati saat bekerja, kalau seperti ini kedudukan dan ketinggian gunung milikku dengan gunung miliknya akan sama. Oleh karena itu, saya harus bertindak dan berbuat sesuatu. Setelah berpikir panjang, ia menemukan sebuah ide.
Hari esok ditunggu oleh Ki Sinu. Setibanya di hari esok, ia langsung memerintahkan warga desanya membentangkan tinggi kain yang berwarna kehitam-hitaman agar tampak lebih tinggi. Selesailah tugas warga Desa Sinujuh dan waktu tinggal dua hari saja. Warga dari Sebatok masih bekerja keras. Salah seorang dari warga Desa Sebatok melihat gunung dari warga Desa Sinujuh sudah tinggi. Dia bernama Singgih. Dia langsung melaporkannya kepada pimpinannya yaitu Datuk Siba.
“Datuk, datuk, saya tadi tidak sengaja melihat gunung Desa Sinujuh, tampaknya sudah lebih tinggi dari pada gunung kita. Sedangkan waktunya tinggal dua hari lagi.” Seru Singgih kepada Datuk Siba.
“Oh, sudah tidak ada harapan lagi,” ujar Datuk Siba. Mereka pun menyerah dan tidak menyelesaikan gunungnya.
Karena kalah, Datuk Siba merasa malu karena gunungnya setengah jadi. Dia pun langsung menggelamkan gunung miliknya tersebut di muara besar dekat tempat ia membuat gunung. Datok Siba sangat kecewa, hingga suatu ketika ia mengetahui kebohongan dari gunung Ki Sinu.
Ternyata yang tinggi hanyalah kain hijau kehitam-hitaman yang menyerupai pohon-pohon rimbun. Datuk Siba sangat marah. Dia lalu bersumpah kepada Desa Sinujuh untuk hilang selama-lamanya setelah ia meninggal dunia.
Dua tahun berlalu, Desa Sinujuh bertempat di dekat muara yang dibuat gunung oleh warga Sinujuh tersebut. Di saat itu juga, Datuk Siba jatuh sakit dan tak lama kemudian ia meninggalkan dunia. Sesuai dengan sumpahnya, Desa Sinujuh hilang. Tetapi gunung yang dibuat warga Desa Sinujuh tidak hilang karena di dalam sumpah Datuk Siba tidak tercantum untuk menghilangkan gunung yang dibuat warga Desa Sinujuh. Karena gunung itu dibuat oleh warga Desa Sinujuh, hingga saat ini gunung itu dinamakan Gunung Sinujuh. Kesimpulannya adalah nama Sinujuh diambil dari nama sebuah desa yang membuat gunung tersebut.
Awalnya dua daerah itu menjalin hubungan baik. Mereka tidak pernah memiliki permasalahan yang sampai memecah belah hubungan mereka. Hubungan mereka seperti kumbang dan bunga yang saling menguntungkan satu sama lain. Apabila ada permasalahan mereka saling membantu. Penyelesaian masalah tersebut dilakukan secara bermufakat.
Di suatu hari, pimpinan daerah Sebatok yaitu Datok Siba dan pemimpin daerah Sinuju yaitu Ki Sinu pergi berburu bersama. Mereka berburu tidak jauh dari desa. Tak di sengaja mereka menemukan daerah/wilayah yang sangat subur. Di wilayah tersebuyt tumbuh berbagai jenis tumbuhan dan berbagai jenis hewan. Tanahnya subur, dan berdekatan dengan muara besar.
“Wah, subur sekali daerah ini. Banyak tumbuh-tumbuhan, hewan dan berdekatan dengan muara,” seru Datok Siba. “Bagaimana kalau kita buat pemukiman saja di sini?” Usul Ki Sinu. Datok Siba setuju.
Mereka pun pulang ke desa masing-masing. Keesokan harinya, Ki Sinu berkehendak pergi ke Desa Sebatok menemui Datuk Siba. Dia ingin membicarakan tentang pembagian wilayah yang ditemukan dekat muara besar kemarin.
“Datuk, bagaimana pembagian wilayah yang ada di dekat muara besar itu?” tanya Ki Sinu.
“Oh, itu soal mudah, karena aku yang menemukannya terlebih dahulu jadi wilayah milikku lebih besar dari wilayah milikmu. Lag! pula wargaku lebih ramai dari pada wargamu.” Jawab Datuk Siba.
Ki Sinu menjawab dengan memukul meja Datuk Siba, “Mana boleh seperti itu, kita harus bagi rata wilayah itu. Tidak boleh ada kurang tidak boleh ada lebih.”
Perdebatan berlangsung lama, Ki Sinu langsung pulang meninggalkan Desa Sebatok. Di tengah perjalanan dia berpikir untuk mendapatkan wilayah yang sama rata.
Keesokan harinya pergi lag! ke Desa Sebatok untuk menemui Datuk Siba. Sesampainya di rumah Datuk Siba, Ki Sinu langsung mengusulkan pendapat untuk menyatukan daerah mereka menjadi satu. Tetapi Datuk Siba menolak dapat tersebut. Datuk Siba langsung menyuruh Ki Sinu pulang. Ki Sinu pulang dengan perasaan marah. Di rumahnya, sepulang dari Desa Sebatok dia langsung memikirkan cara untuk merebut utuh wilayah dekat muara tersebut. Ternyata di saat kepulangan Ki Sinu, Datuk Siba juga memikirkan juga ingin merebut Desa Sinujuh.
Di suatu malam, seluruh warga Desa Sebatok menyerang Desa Sinuju. Tetapi di tengah perjalalan, mereka bertemu warga dari Desa Sinujuh yang juga ingin menyerang Desa Sebatok. Tidak sampai di desa, peperangan di mulai di antara Desa Sebatok dan Sinujuh. Peperangan itu tidak dapat dielakkan. Satu per satu warga desa Sebatok dan Sinujuh tewas. Warga dari kedua desa itu yang tersisa tidak lebih dari setengah warga dari warga desa awal.
Perbincangan pemimpin dari kedua daerah terjadi saat peperangan. Ki Sinu berkata, “Datuk, dari pada berperang yang dapat memakan banyak korban dalam waktu yang lama, lebih baik kita selesaikan dengan cara lain.”
“Tapi dengan cara yang bagaimana?” Tanya Datuk Siba.
“Lebih baik kita berlomba membuat gunung di wilayah dekat muara besar itu. Saya akan membuat di sebelah selatan muara dan kamu membuat di sebelah utara muara,” jawab Ki Sinu.
“Baiklah kalau begitu cara yang terbaik,” ujar Datuk Siba. Lomba tersebut selama satu bulan. Barang siapa gunungnya lebih tinggi, dia yang menang dan berhak memiliki daerah tersebut.
Dua hari berlalu, lomba membuat gunung pun dimulai. Dengan sangat gigih seluruh warga Desa Sebatok mengumpulkan batu dan tanah. Begitu pula dengan warga Desa Sinujuh.
Setelah dua minggu perlombaan, gunung-gunung yang mereka buat pun sudah tinggi. Gunung keduanya kurang lebih sama tinggi. Minggu ketiga tiba, ketinggian gunung mereka masih sama. Ki Sinu berpikir di dalam hati saat bekerja, kalau seperti ini kedudukan dan ketinggian gunung milikku dengan gunung miliknya akan sama. Oleh karena itu, saya harus bertindak dan berbuat sesuatu. Setelah berpikir panjang, ia menemukan sebuah ide.
Hari esok ditunggu oleh Ki Sinu. Setibanya di hari esok, ia langsung memerintahkan warga desanya membentangkan tinggi kain yang berwarna kehitam-hitaman agar tampak lebih tinggi. Selesailah tugas warga Desa Sinujuh dan waktu tinggal dua hari saja. Warga dari Sebatok masih bekerja keras. Salah seorang dari warga Desa Sebatok melihat gunung dari warga Desa Sinujuh sudah tinggi. Dia bernama Singgih. Dia langsung melaporkannya kepada pimpinannya yaitu Datuk Siba.
“Datuk, datuk, saya tadi tidak sengaja melihat gunung Desa Sinujuh, tampaknya sudah lebih tinggi dari pada gunung kita. Sedangkan waktunya tinggal dua hari lagi.” Seru Singgih kepada Datuk Siba.
“Oh, sudah tidak ada harapan lagi,” ujar Datuk Siba. Mereka pun menyerah dan tidak menyelesaikan gunungnya.
Karena kalah, Datuk Siba merasa malu karena gunungnya setengah jadi. Dia pun langsung menggelamkan gunung miliknya tersebut di muara besar dekat tempat ia membuat gunung. Datok Siba sangat kecewa, hingga suatu ketika ia mengetahui kebohongan dari gunung Ki Sinu.
Ternyata yang tinggi hanyalah kain hijau kehitam-hitaman yang menyerupai pohon-pohon rimbun. Datuk Siba sangat marah. Dia lalu bersumpah kepada Desa Sinujuh untuk hilang selama-lamanya setelah ia meninggal dunia.
Dua tahun berlalu, Desa Sinujuh bertempat di dekat muara yang dibuat gunung oleh warga Sinujuh tersebut. Di saat itu juga, Datuk Siba jatuh sakit dan tak lama kemudian ia meninggalkan dunia. Sesuai dengan sumpahnya, Desa Sinujuh hilang. Tetapi gunung yang dibuat warga Desa Sinujuh tidak hilang karena di dalam sumpah Datuk Siba tidak tercantum untuk menghilangkan gunung yang dibuat warga Desa Sinujuh. Karena gunung itu dibuat oleh warga Desa Sinujuh, hingga saat ini gunung itu dinamakan Gunung Sinujuh. Kesimpulannya adalah nama Sinujuh diambil dari nama sebuah desa yang membuat gunung tersebut.
Nah, demikianlah kisah Asal Usul Gunung Senujuh dan mitos yang mengelilinginya. Semoga dari kisah ini kita bisa mengambil pelajaran untuk kehidupan kita yang lebih baik.
Catatan:
Referensi penulisan artikel ini bersumber dari cerita lisan orang tua dan untuk memperkuat materi, penulis juga mengutip tulisan inti dari buku yang berjudul "Kunag-Kunang : Antologi Cerita Rakyat Selakau Timur" Edisi cetakan pertama, Oktober 2016. Balai Bahasa Kalimantan Barat.
mantap bang, jadi tau ceritenye
BalasHapusterima kasih
Hapus