Perjalanan Kerajaan Sambas Tua dari Paloh ke Kota Lama

misterpangalayo.com - Sebelum berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1671 di Lubuk Madung, telah berdiri beberapa kerajaan bercorak Hindu-Budha di wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya. Kerajaan Sambas Hindu atau Panembahan Sambas adalah kerajaan Hindu terakhir di tanah Sambas yang kemudian dilanjutkan oleh Kesultanan Islam yang dipimpin oleh Raden Sulaiman.

Namun sejarah Sambas sudah bermula jauh sebelum era kepemimpinan Ratu Sepudak di Kota Lama. Walaupun purba sejarah Sambas dan Kalimantan masih diliputi kabut ketidakpastian karena tidak banyak data dan informasi yang diperoleh. 

Namun, berdasarkan cerita rakyat dari leluhur Sambas, catatan kerajaan Majapahit, kronik-kronik Kaisar Cina, serta para pelancong dan pedagang asing dari Cina, India dan Arab sejak abad ke-10 bisa menjadi rujukan sementara untuk mengeksplorasi sejarah purba Sambas.

Drs. Sudarto dan Adisidharto dalam manuskrip bukunya tentang “Sejarah Kalimantan Barat”, tahun 1997, mencoba mengangkat riwayat berkaitan dengan purba sejarah Kerajaan Sambas. “Daerah Sambas, Sukadana, Tanjungpura dan Karimata dalam buku Ptolemaeos Dias “Geographia” (abad ke-2) ditafsirkan oleh Van der Meulen bahwa: “Tanjung Satyroi tidak mungkin lain daripada gugusan pulau-pulau Karimata yang berbatu itu, karena tak ada bagian yang patut disebut sebagai tanjung di daerah yang pantainya berlumpur itu.

Dari catatan ptolemaeos pada awal abad tahun masehi itu, telah diketahui bahwa daerah pantai barat Kalimantan, (Sambas, Mempawah, Sukadana, Tanjungpura) sudah dikenal sebagai daerah berpenghuni. Selanjutnya Van der Meulen menduga bahwa dalam masa Ptolemaeos, nama Javadwipa mungkin sekali dipakai untuk menyebut bahagian lain dari Kalimantan.

Selain itu, di dalam salah satu buku sejarah Serawak yang ditulis oleh Sanib Said, yang membagi Sejarah Serawak dalam tiga fase, yaitu “Ancient Sarawak Politico – Cultural Area (ASPA); The Old Sarawak (OS) dan The New Sarawak (NS)”. 

Wilayah Ancient Sarawak Politico – Cultural Area adalah fase sejarah politik dan budaya Sarawak lama atau Sarawak tua. Sanin Said memasukkan daerah mulai dari Sambas sampai dengan Bintulu sekarang. Sarawak Tua ini sekitar abad ke-13, sebelum kejayaan Kerajaan Brunei.


Awal perjalanan Kerajaan Sambas Tua atau kemudian dilanjutkan oleh Panembahan Sambas atau juga dikenal Panembahan Ratu Sepudak bermula dari sebuah kerajaan yang berpusat di Paloh (kawasan Tanjung Datuk). Menurut Uray Jalalludin Yusuf Datuk Ronggo menyebutkan bahwa pada akhir abad ke 13 (sekitar 1291), terdapat sebuah kerajaan di Paloh yang dipimpin oleh Raden Janur.

Inilah mungkin yang ditulis oleh Sanib Said tentang The Old Sarawak (OS), bahwa terdapat sebuah kerajaan pada abad ke 13 yang terbentang dari Sambas (kawasan Tanjung Datuk) hingga Bintulu. Bila dikaitkan maka kerajaan yang dimaksud adalah kerajaan yang dipimpin oleh Raden Janur (masih butuh rujukan). Mengingat kawasan Tanjung Datuk menjadi tempat persinggahan pasukan Majapahit ketika hendak ke Malaka.

Menurut cerita rakyat Sambas (bersifat legendaris, dituturkan dari mulut, terdapat beragam versi), suatu malam kerajaan yang dipimpin Raden Janur tersebut kejatuhan benda langit (Tahi Bintang/Meteor) sebesar buah kelapa. Benda tersebut bercahaya sangat terang dan sang Raja memberinya nama “Mustika Bintang”. Peristiwa aneh itu tersebar luas hingga ke seluruh Nusantara, tak terkecuali daerah Majapahit di tanah Jawa.

Hal ini membuat Prabu Majapahit berniat untuk memiliki Mustika Bintang tersebut karena batu dari langit itu tentu diyakininya memiliki banyak khasiat dan keutamaannya. Maka sang Prabu memerintahkan pasukannya untuk mengunjungi kerajaan Sambas. Berlayarlah mereka dengan bahtera yang dipimpin oleh bangsawan Majapahit beserta para prajurit secara besar-besaran untuk merampas pusaka “Mustika Bintang” milik Raden Janur..

Konon, ketika bahtera dengan derasnya meluncur ke arah utara Pulau Kalimantan, tiba-tiba seisi bahtera dikejutkan dengan seberkas cahaya menyilaukan dari langit yang terus turun dengan kecepatan tinggi ke arah bumi. Seluruh penumpang memandangnya tanpa berkedip sampai akhirnya cahaya itu mendarat di sebuah tempat di daratan dan menimbulkan ledakan.

Pemimpin rombongan tersebut pun penasaran ingin melihat langsung gerangan apa yang baru saja jatuh dari langit itu. Lalu ia pun memerintahkan agar bahtera untuk merapat ke daerah tersebut. Setelah sekian lama mencari, akhirnya mereka menemukan satu bongkahan batu berukuran sebesar rumah yang tergeletak di kaki bukit. Di sekitarnya tampak serpihan-serpihan batu yang berserakan. Sementara di puncak bukit itu, terlihat bekas-bekas benturan.

Batu Belimbing
Dewasa ini, oleh masyarakat setempat, batu tersebut dinamai dengan Batu Belimbing dan bukit didekatnya dinamakan Gunung Poteng. Secara administratif terletak di wilayah Kecamatan Singkawang Timur. Benturan oleh meteor tadilah menjadi asal muasal mengapa bentuk puncak Gunung Poteng menjadi seperti sekarang. Saat ini, Batu Belimbing telah menjadi salah satu objek wisata di Kota Singkawang.

Balik lagi ke cerita, Rombongan dari Majapahit tersebut pun melanjutkan perjalanan menuju Paloh. Dalam perjalanan, mereka mendarat di Pangkalan Jambu, sebuah daerah pesisir pantai yang berada di Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas sekarang. Itulah sebabnya daerah tempat mendaratnya rombongan bangsawan dari Jawa ini dinamakan Jawai sampai sekarang.


Replika Bahtera Majapahit

Sesampai di tanah Paloh, mereka disambut baik oleh Raden Janur, tetapi tatkala dinyatakan maksud kedatangan rombongan dari Kerajaan Majapahit itu semata-mata hendak meminta mustika bintang, maka Raden Janur tidak mau memberikan Mustika Bintangnya, ia melarikan diri dan menghilang bersama Mustika Bintang, konon kabarnya ia menjadi orang kebenaran atau orang halus.

Diceritakan bahwa pasukan Majapahit tersebut tak kembali ke Majapahit tetapi tinggal dan membaur dengan penduduk asli. Beberapa tahun kemudian, mereka melanjutkan pemerintahan peninggalan Raden Janur dan menjadi sebuah kerajaan yang kuat dibawah lindungan Kerajaan Majapahit, dengan rajanya berasal dari hasil perkawinan dengan penduduk setempat. 

Menurut sejarah Sambas, pada abad ke-13 juga telah ada sebuah kerajaan kecil di tanah Sambas yang juga menjadi bawahan Majapahit, terletak di sebelah selatan negeri tepatnya di Sungai Raya (sekarang masuk wilayah Kabupaten Bengkayang pasca pemekaran dari Kabupaten Sambas) yang didirikan oleh Patih Riuh. Kemudian kerajaan tersebut dikenal dengan Kerajaan Nek Riuh atau Kerajaan Lara. Kerajaan ini pernah terlibat perang dengan Kerajaan Sidiniang. Namun kerajaan ini tidak bertahan lama, mengalami masa keruntuhan akibat perang kayau dengan kerajaan dari Dayak Mualang.

kembali ke tanah Paloh

Singkat cerita, suatu hari sang Raja tersebut berkunjung ke Pulau Lemukutan dan menemukan seruas bambu yang berisi bayi laki-laki. Kian hari bayi tersebut tumbuh berkembang dengan sehat, namun ia hanya mempunyai sebuah gigi layaknya seperti gigi labi-labi. Dan kemudian bayi itu diberi nama “Tan Unggal”.

Pasca sang Raja mangkat, Tan Unggal berambisi untuk menjadi raja. Dengan mengandalkan kekuatan dan kelicikanya. Ia berhasil menyingkirkan putera mahkota dan menobatkan dirinya menjadi raja. Tan Unggal adalah Raja Yang kejam, bengis dan tidak berperikemanusiaan. Akhir hidupnya, Tan Unggal akhirnya meninggal dalam keadaan yang sangat menggenaskan, ia dimasukkan kedalam peti dan petinya dibuang kedalam sungai Sambas (petikan cerita menurut dato’ Ronggo, buku terbitan pada tahun 1991).

Untuk mengetahui bagaimana Tan Unggal dibunuh, klik disini.

Setelah Tan unggal dikubur disungai Sambas, keturunan dari putera mahkota yang tersingkir muncul dan mengambil alih kendali pemerintahan. Raja itulah yang menurunkan raja-raja Sambas sampai kepada Ratu Sepudak. Pada pertengahan abad ke 15, pusat kerajaan ini berpindah dari Paloh ke Kota Lama yang terletak di benua Bantanan-Tempapan. Rajanya dikala itu bernama Saboa Tangan. Kemudian pemerintahannya dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Ratu Timbang Paseban. Tidak diketahui pasti, Ratu Timbang Paseban kemudian menyerahkan tahta kerajaan kepada adiknya yang bernama Ratu Sapudak.

Menurut cerita, tradisi dari keturunan Majapahit ketika akan dinobatkan menjadi raja Panembahan Sambas, terlebih dahulu harus bertapa di kawasan Batu Belimbing selama beberapa waktu. Selain menjadi tempat pertapaan, mereka meyakini bahwa batu tersebut mempunyai kekuatan mistis yang dijaga oleh bidadari.

Pada era Ratu Sepudak, kerajaan ini mengalami masa kejayaan. Pada tahun 1609, VOC datang ke kota Lama untuk mengikat perjanjian dengan Ratu Sepudak. Isi perjanjian menyebutkan bahwa Ratu Sapudak tidak dibolehkan menjual emas dan barang hasil hutan kepada orang-orang Eropa dan mereka hanya boleh menjualnya kepada VOC. Dalam perjanjian tanggal 1 Oktober 1609 itu, wakil VOC Samuel Bloemaert sekaligus mengikat kerajaan Landak dan Sukadana.

Pada masa pemerintahan Ratu Sapudak inilah datang rombongan Sultan Tengah yang terdiri dari keluarga dan orang-orangnya datang dari Kesultanan Sukadana dengan menggunakan 40 buah perahu yang lengkap dengan alat senjata. Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak. Sultan Tengah dan rombongannya dipersilahkan untuk menetap di sebuah tempat yang kemudian disebut dengan nama "Kembayat Sri Negara".

Tidak lama setelah menetapnya Sultan Tengah dan rombongannya di Panembahan Sambas ini, Ratu Sapudak pun kemudian wafat secara mendadak. Kemudian yang menggantikan Ratu Sepudak adalah anak dari Ratu Timbang Paseban, keponakannya sendiri yang bernama Pangeran Prabu Kencana dengan gelar Ratu Anom Kesumayuda.

Ratu Anom Kesumayuda ini sekaligus juga menantu dari Ratu Sapudak karena pada saat Ratu Sapudak masih hidup, ia menikah dengan anak perempuan Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Anom. Beberapa tahun kemudian, anak dari Sultan Tengah yang bernama Sulaiman dinikahkan dengan adik dari Mas Ayu Anom yang bernama Mas Ayu Bungsu.

Karena pernikahan inilah kemudian Sulaiman diangurahi gelaran Raden menjadi Raden Sulaiman. Tak lama setelah itu Raden Sulaiman diangkat menjadi salah satu Menteri Besar dari Panembahan Sambas yang mengurusi urusan hubungan dengan negara luar dan pertahanan negeri dan kemudian Mas Ayu Bungsu pun hamil hingga kemudian Raden Sulaiman memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Bima.

Raden Sulaiman yang menjadi Menteri Besar di Panembahan Sambas, mendapat tentangan yang keras dari adik Ratu Anom Kesumayuda bernama Raden Aryo Mangkurat yang juga menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas bersama Raden Sulaiman. Ketika Raden Sulaiman semakin terdesak dan sampai kepada mengancam keselamatannya, Raden Sulaiman beserta keluarga dan orang-orangnya kemudian memutuskan untuk hijrah dari Panembahan Sambas.

Hingga akhirnya, rombongan Raden Sulaiman memasuki anak sungai Sambas yaitu sungai Sambas Kecil. Tujuan mereka berhenti di suatu tempat yang memiliki pemandangan yang indah, yaitu dipinggir muara sungai Sabung, anak sungai dari sungai Subah. Di tempat inilah, perkampungan baru didirikan lengkap dengan kubu dan paritnya lalu diberinya nama tempat ini “Kota Bandir”.

Namun secara tiba-tiba, Ratu Anom Kesumayuda mengunjungi Raden Sulaiman. Sang Raja dari Kota Lama menyerahkan tahta kerajaan Panembahan Sambas kepada Raden Sulaiman yang dihadiri oleh para menteri serta rakyatnya, berhubung Ratu Anom Kesumayuda sudah tidak sanggup mengendalikan pemerintahan negeri Sambas karena ulah dari Raden Aryo Mangkurat.

Dalam upacara penyerahan ini, Ratu Anom Kesumayuda menyerahkan pusaka kerajaan kepada Raden Sulaiman, yaitu dua pucuk meriam sedang, tiga pucuk meriam kecil (lela) dan sekalian alat kebesaran kerajaan. Kemudian rombongan Ratu Anon Kesumayuda hijrah ke wilayah Sungai Selakau dan mendirikan kerajaan baru bernama Panembahan Balai Pinang dengan Raden Bekut sebagai rajanya dan kemudian dilanjutkan oleh Raden Mas Dungun. 


Alkisah menurut sepanjang riwayat, keadaan Kota Lama semenjak dari berangkatnya Ratu Anom Kusuma Yuda ke Selakau, Negeri itu makin hari semakin sepi penduduk dan tidak berarti lagi seperti sebuah negeri yang habis diserang. Sebagian besar dari penduduknya telah berpindah ke kota Bandir dan juga sebagian rakyatnya bergabung bersama rombongan Ratu Anom Kesumayuda. Pada umumnya rakyat yang masih ada tinggal disitu serentak memboikot dan tidak mengindahkan sekali-kali akan segala perintah yang dijalankan oleh Pangeran Aria Mangkurat kepada mereka.

Keraton Kesultanan Sambas di Lubuk Madung
Tiga tahun kemudian, atas permufakatan serta persetujuan Raden Sulaiman, ibukota Sambas yang tadinya di Kota Bandir dipindahkan ke hulu sungai Teberau tidak jauh dari Muara Ulakan (keraton Sambas sekarang). Disitulah didirikannya ibukota kerajaan yang baru dan kemudian diberi nama Kota Lubuk Madung (Kota Lubuk Madung itu sekarang cuma tinggal namanya saja lagi, tetapi disebelah hilirnya kini ada muncul sebuah desa, yaitu Lubuk Lega namanya).

Di Lubuk Madung, Raden Sulaiman dinobatkan menjadi Sultan Sambas dengan gelar Sultan Mohamad Tsafiudin I. Raden Sulaiman menjadi sultan yang pertama di negeri Sambas. Dan begitu juga saudara-saudaranya yang bernama Raden Abdulwahab dan Raden Badarudin diangkat menjadi wazir Kesultanan Sambas.

Setelah memerintah selama sekitar 15 tahun yang diisi dengan melakukan penataaan sistem pemerintahan dan pembinaan hubungan dengan negari-negeri tetangga, pada tahun 1685 Sultan Muhammad Shafiuddin (Raden Sulaiman) mengundurkan diri dari tahta Kesultanan Sambas dan mengangkat anak sulungnya yaitu Raden Bima sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin.

Sekitar setahun setelah memerintah sebagai Sultan Sambas ke-2, Sultan Muhammad Tajuddin (Raden Bima), atas persetujuan dari ayahnya (Raden Sulaiman), kemudian memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu tempat tepat di depan percabangan tiga buah Sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai Teberrau, dan Sungai Subah. Tempat ini kemudian disebut dengan nama "Muara Ulakkan" yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas seterusnya yaitu dari tahun 1685 itu hingga saat ini.

Kesultanan Sambas yang berdiri sejak tahun sekitar tahun 1671 M, tidak pernah tunduk / bernaung kepada pihak-pihak kekuasaan manapun baik itu Kerajaan lainnya di Nusantara ini ataupun pihak Kolonoal Eropa hingga kemudian pada masa Sultan Sambas ke-10 yaitu Sultan Umar Akamaddin III (tahun 1831 M), kekuasaan Kolonial Hindia Belanda mulai memengaruhi pemerintahan Kesultanan Sambas hingga masa kemerdekaan RI.

Kesultanan Sambas sempat menjadi Kerajaan terbesar di wilayah Kalimantan Barat selama sekitar 100 tahun yaitu dari awal abad ke-18 (tahun 17-an) hingga awal abad ke-19 (tahun 18-an), baru kemudian setelah Hindia Belanda mulai berkuasa di wilayah Kalimantan Barat, Kejayaan Kesultanan Sambas mulai meredup dan kemudian kebesaran Kesultanan Sambas itu digantikan oleh Kesultanan Pontianak.

Keraton kedua Kesultanan Sambas di Muara Ulakan

Sumber materi pendukung:

http://melayuonline.com/ind/history/dig/67/kesultanan-sambas

https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Sambas

http://ifzanul.blogspot.co.id/2010/06/asal-mula-kesultanan-sambas.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sambas

https://www.academia.edu/6172421/KERAJAAN_BERUNAI_DAN_NEGERI_TIGA_SERANGKAI

http://www.pontianakonline.com/sambas/equatopedia/sejarah/sambas.htm

http://www.sambas.go.id/profile-daerah/pemerintahan/sejarah-singkat.html



Tidak ada komentar:

Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta

Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:

1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan

Diberdayakan oleh Blogger.