Faktor Pembentukan Identitas Melayu Sambas


misterpangalayo.com - Suku Melayu Sambas secara signifikan tersebar di wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang, sebagian kecil di Kabupaten Mempawah, Provinsi Riau Kepulauan serta menjadi komunitas kecil di wilayah Sarawak (Malaysia).

Suku Sambas (Melayu Sambas) adalah salah satu kelompok etnis dari orang-orang Austronesia yang menghuni pantai paling utara bagian barat wilayah Provinsi Kalimantan Barat yang berbudaya Melayu dan beragama Islam. Dewasa ini, sejak suku Melayu Sambas mengalami proses Islamisasi, Melayu Sambas itu bukan saja identitas dari suatu suku, tetapi menjadi identitas dari suatu agama. Ibarat seperti sebuah koin, suku Melayu Sambas dan Islam itu ibaratkan dua sisi koin yang tidak bisa dipisahkan.

Namun bila dilihat dari sisi linguistik, Suku Sambas merupakan bagian dari rumpun Suku Dayak, khususnya dayak Melayik yang dituturkan oleh 3 suku Dayak : Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Kutai, Tidung dan Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) serta Paser (rumpun Barito Raya).

Berangkat dari sisi linguistiknya, Suku Sambas (Melayu Sambas) menjadi suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 12% dari penduduk Kalimantan Barat, sebelumnya suku Sambas tergabung ke dalam suku Melayu pada sensus 1930. Sehubungan dengan hal tersebut kemungkinan "Dialek Melayu Sambas" meningkat statusnya dari sebuah dialek menjadi bahasa kesukuan yaitu Bahasa Suku Sambas. Kemunculan suku Sambas (Melayu Sambas) bukan hanya sebagai konsep etnis tetapi juga konsep politis, sosiologis, dan agamis.

Suku Melayu Sambas terbentuk dari sebagian besar dari suku pribumi Kalimantan, suku Melayu dari Sumatera dan Malaka, suku Jawa pada jaman Kerajaan Majapahit, suku Kendayan dari Brunei, suku Bugis, suku Banjar, suku Tionghoa,  dan lainnya yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu yang berkembang sejak zaman Sriwijaya dan kebudayaan Jawa pada zaman Majapahit, dipersatukan oleh kerajaan yang beragama Buddha, Hindu dan terakhir Islam, dari Kesultanan Sambas, sehingga menumbuhkan suku Melayu Sambas yang berbahasa Sambas.

Hal ini dibuktikan oleh Sellato menyatakan bahwa 90% Melayu Kalimantan Barat adalah Dayak yang memeluk Islam. Jika kemudian di Kalimantan Barat terdapat banyak orang Melayu yang bukan keturunan Dayak, hal itu merupakan perkembangan baru. Victor T. King dalam World Within: The Ethnic Groups of Borneo (1994) menyatakan bahwa sekarang ini Melayu Kalimantan Barat terdiri atas campuran masyarakat Dayak yang memeluk Islam, Melayu dari berbagai tempat di Sumatera dan Malaysia, Bugis, Banjar, Jawa, dan lain-lain (Chairil Effendi: tt).

Kelompok Melayu yang ada di Kalimantan Barat khususnya wilayah Sambas Raya (Sambas, Bengkayang, dan Singkawang) saat ini tampaknya mengalami proses perluasan atau pelebaran melalui apa yang disebut oleh Horowitz sebagai proses assimilation, khususnya variasi amalgamation. Dalam banyak kasus, ketika seseorang yang berasal dari suatu etnis tertentu menikah dengan orang yang berbeda etnis (sama-sama muslim) maka keturunannya menyebut diri sebagai orang Melayu.

Secara sosio-historis masyarakat Sambas adalah kelompok sosial heterogen yang terkonfigurasi dari berbagai sukubangsa dan ras yang selama ratusan tahun telah menjalin kehidupan bersama, sehingga kemudian membentuk identitas etnis (suku) Sambas. Artinya, kelompok sosial heterogen itu memang terbentuk melalui proses yang tidak sepenuhnya alami (priomordial), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang cukup kompleks.

Dari sudut pandang sosiologis, etnisitas mengacu pada orang-orang yang memiliki karakteristik budaya yang sama, seperti bahasa, asal daerah, pakaian, makanan, dan nilai-nilai (Curry: 1996). Morris mendefinisikan kelompok etnis sebagai: A distinct category of the population in a larger society whose culture is usually different from our own. The members of such a group are, or feel themselves, or are thought to be, bound together by common ties of race or nationality or culture (Kamanto Sunarto: 2004).  

Di Indonesia, term etnis lebih dikenal dengan istilah suku bangsa. Kuntjaraningrat menyatakan bahwa konsep yang tercakup dalam istilah “suku bangsa” adalah “suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ‘kesatuan budaya’, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga.” Kesatuan kebudayaan tersebut ditentukan oleh warga kebudayaan itu sendiri, dan bukan oleh orang luar (Koentjaraningrat: 1990). 

Terkait dengan unsur bahasa sebagai identitas etnis, dalam penelitian terhadap masyarakat Kalbar dari aspek linguistiknya, James T. Collins (2000) menemukan adanya diversitas pola hubungan antara etnisitas dan bahasa. Sulit untuk mengidentifikasi etnisitas suatu komunitas jika hanya berdasarkan bahasa. Etnisitas adalah ciptaan manusia, sesuai yang diinginkan. Banyak unsur yang digunakan untuk membina etnisitas, termasuk bahasa dan agama, tetapi semuanya berlandaskan agama.



Ditinjau dari perjalanan sejarah identitas orang Melayu Sambas yang terlihat sampai saat ini merupakan hasil interaksi dan akulturasi beberapa kebudayaan besar yang perna hadir dan memainkan perannya di Sambas dalam jangka waktu yang cukup lama. Beberapa kebudayaan besar yang memiliki andil dalam pembentukan identitas Melayu Sambas.(2005:96-97)

Pertama: Kebudayaan Pagaruyung, Minagkabau. Di antara komunitas pendatang yang pertama datang ke Sambas adalah perantau dari Pagaruyung. Pendatang yang terkenal dengan tradisi merantau dan berlayarnya ini sangat berpengaruh kepada semangat merantau dan berlayar pada orang Melayu Sambas sejak zaman dahulu.

Kedua : Kebudayaan Jawa. Budaya ini di pastikan ada pengaruhnya dalam penbentukan identitas Melayu Sambas sebagian besar sistem religi dan kepercayaan (seperti kepercayaan kepada mahluk halus semacam hantu), pola dan sikap hidup (seperti sifat sabar dan mengalah) serta tradisi tertentu (seperti bepapas) mirip dengan budaya Jawa.

Ketiga : Kebudayaan Melayu Brunei dan Malaka. Kebudayaan ini bercorak islam dan berpusat di istana. Melayu Sambas pernah besar dengan kesultanannya yang gemilang lebih dari tiga abad (1631-1943). Sejarah kekuasaan di Sambas merupakan simbolisasi kebanggan yang melegenda, khususnya di Kalimantan Barat kesultanan Sambas adalah satu-satunya kesultanan tua yang masih dapat disaksikan peninggalannya secara utuh sampai dengan saat ini. Dan sekarang sudah di renovasi dan tata letaknya rapi dan teratur.

Keempat : Kebudayaan Eropa. Kesultanan Sambas pernah kontak dengan Inggris (1811-1813), dan kemudian tunduk dibawah penjajahan Belanda sejak 1818.

Kelima : Kegemilangan Religiusitas. Sambas pernah menampilkan dua ulama besar yaitu Ahmad Khatib Sambas (1803-1875) diabad ke-19 dan Muhammad Basiuni Imran (1885-1976) diabad ke-20. Keduanya tampil sebagai puncak identitas religio-intelektualisme Melayu Sambas.

Lima macam situasi inilah pembentukan Melayu Sambas sehingga mereka relatif lebih unggul pada aspek sumber daya manusianya namun cendrung memiliki sikap-sikap mendahulukan sikap perasaan, mengutamakan pola hidup santai dan merasa dirinya yang paling unggul. Karena itu tidak mengherankan apabila mereka terkesan tertutup (eksklusif) yang pada akhirnya tidak lebih unggul dalam bersaing dengan etnis lain.(2005:28)

Nur Rabiyah

Revitalisasi Melayu Di Tengah Globalisasi

Globalisasi merupakan ancaman sekaligus peluang bagi Melayu Sambas untuk mempertahankan dan mengembangkan jati dirinya. Globalisasi akan menjadi ancaman terhadap jati diri Melayu Sambas jika kita tidak mampu memahami jati diri Melayu secara benar dalam konteks Melayu yang inklusif. Dengan meletakkan Melayu dalam paradigma inklusif, maka jati diri Melayu akan mampu menyerap nilai-nilai positif dari globalisasi dan mengatasi ekses negatifnya. Dalam konteks ini, globalisasi menjadi peluang bagi Melayu Sambas untuk mengembangkan jati dirinya. Selain itu, Melayu Sambas juga mempunyai kesempatan menyumbangkan nilai-nilainya untuk mencipatakan peradaban dunia yang humanis. (Mahyudin Al Mudra)
referensi:

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sambas

http://iaisambas.ac.id/blog/2013/03/01/pendirian-pusat-pengkajian-melayu-sambas/

http://zulkifli-stainptk.blogspot.co.id/2012/04/artikel.html

http://www.mahyudinalmudra.com/work/detail/287/Revitalisasi-Melayu-Di-Tengah-Globalisasi

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar

serta beberapa sumber pendukung lainnya.

Tidak ada komentar:

Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta

Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:

1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan

Diberdayakan oleh Blogger.