LEGENDA BUJANG NADI DAN DARE NANDUNG: Hidup Dalam Istana, Mati Dalam Bencana


misterpangalayo.com - Menurut Asep Ruhimat (Dwipanegara, 2012, h.4) menjelaskan folklor atau cerita rakyat biasanya diwariskan secara turun - temurun dan tidak dibukukan. Cerita ini disebarluaskan dan diwariskan dalam bentuk lisan. Bentuk folklor dapat meliputi bahasa rakyat, teka - teki, puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat.

Kali ini saya akan menceritakan kembali sebuah Cerita Rakyat Sambas yang  masuk dalam kategori cerita legenda, dimana ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi oleh masyarakat Sambas dan tidak dianggap suci. Legenda kali ini, saya terfokus kepada Kisah Bujang Nadi Dan Dare Nandung.

Alkisah, di tanah Paloh berdiri sebuah Kerajaan yang di pimpin oleh Raden Janur pada akhir abad ke 13 M. Paloh merupakan wilayah paling utara kabupaten Sambas yang sering di gelari sebagai Negri Orang Kebenaran atau NOK (Orang Alam atau OAA/Khaya-angan),dan merupakan dari wilayah Negri Sarawak kuno. 

Di ceritakan bahwa pada suatu malam Raden telah kejatuhan batu meteor bercahaya sebesar buah kelapa yang dinamakan Mustika Bintang. Batu “Ajaib” dari langit itu tentu diyakini memiliki banyak Khasiat dan keutamaannya. Cerita ini terdengar hingga ke telinga Raja Majapahit, dan diperintahkannya perwakilan dari Majapahit untuk berangkat ke Sambas dengan tujuan mendapatkan Mustika Bintang semata.

Karena Raden Janur tidak mau memberikan Mustika Bintang, maka terjadi pertempuran sengit hingga banyak memakan korban. Pasca kejadian tersebut, Raden Janur menghilang bersama Mustika Bintang dan masyarakat  percaya bahwa Raden Janur telah menjadi bagian dari Kaum Bunian dari Kerajaan Batu Bejamban.

Karena kekosongan kekuasaan, Prabu Majapahit berbaur dengan masyarakat setempat dan melanjutkan pemerintahan peninggalan Raden Janur. Hingga suatu hari, sang Raja bersama pengawalnya bertamasya ke Pulau Lemukutan. Di pulau itu sayup-sayup terdengar ditelinga raja bunyi tangisan bayi. Seluruh rombongan disuruh mencari dari mana datangnuya suara tersebut. Setelah lama mencari akhirnya diketahui suara tersebut berasal dari sebuah rumpun bambu. Betapa terkejutnya semua yang melihat kejadan tersebut, ternyata pada salah satu ruas bambu yang dibelah berisi seorang bayi laki-laki. 

Bayi tersebut akhirnya dipelihara raja bersama anaknya. Kian hari tumbuh berkembang dengan sehat, namun sangat disayangkan ia hanya mempunyai sebuah gigi layaknya seperti gigi labi labi. Karena itu ia diberi nama “Tang Nunggal” (Hanya Bergigi Tunggal). 



Sepenggal Cerita Singkat Bujang Nadi dan Dare Nandung

Pasca sang Raja mangkat, roda pemerintahannya diserahkan kepada anak kandungnya sebagai pewaris sah tahta kerajaan. Tapi disisi lain, saudara angkatnya 'Tan Unggal' berambisi besar untuk merebut tahta kerajaan mendiang ayahnya. Ia pun mengatur siasat agar tidak ada pertumpahan darah karena ulah Tan Unggal.

Tan Unggal pun memerintah kerajaan mendiang ayah angkatnya, dan ia pun menjadi seorang figur yang ditakuti oleh rakyatnya. Apapun keinginan Tan Unggal harus dipenuhi dan apabila ada rakyat menentangnya makan akan dihukum.

Kemana nasib saudara angkat Tan Unggal ? Diam-diam saudara angkat Tan Unggal mengadakan mufakat bersama para wazirnya yang masih setia. Hasil kesepakatannya, mereka pun diam-diam meninggalkan istana tanpa sepengetahuan Tan Unggal.

Mereka bersembunyi dan menetap di sebuah Gua yang sangat luas di belakang Bukit Piantus (sekarang berada di Kecamatan Sejangkung). Gua ini menjadi tempat tinggalnya bersama para wazir dan menjadi tempat musyawarah serta kubu pertahanan.

Lama-kelamaan roda-roda kehidupan berputar kian menderas, Tan Unggal sering bertindak sewenang-wenangnya pada rakyatnya, sehingga seluruh lapisan masyarakat sangat takut kepadanya. Hingga suatu ketika, Tan Unggal menikahi gadis biasa dan dikaruniai 3 orang anak yaitu Bujang Nadi, Dare Nandung, dan Datok Kullup.

Tan Unggal sangat over protective kepada anak-anaknya, tidak memperbolehkan anak-anaknya keluar dari istana, apalagi bergaul dan mengenal rakyat jelata. Bujang Nadi dan Dare Nandung mempunyai watak yang sangat bertolak belakang dengan ayahanda-nya Tan Unggal, selain itu mereka dianugerahi wajah nan elok menawan, pembawaan mereka lemah lembut, memiliki jiwa sosial yang tinggi tanpa memandang bulu.

Bujang Nadi dan Dare Nandung mempunyai kegemaran masing-masing, yaitu Bujang Nadi gemar memelihara ayam jantan, dimana pada masa itu, tren menyabung ayam antar kerajaan sudah ada hingga ke tanah jawa. Sedangkan Dare Nandung sangat gemar menenun kain, hari-harinya selalu ia habiskan dengan menenun kain selain bermain bersama abang kandungnya. Hingga suatu ketika, sang ayah (Tan Unggal), pun memberinya hadiah berupa sebuah alat tenun yang terbuat dari emas.

Sampailah pada suatu ketika, mala petaka menimpa Bujang Nadi dan Dare Nandung yang sama sekali sangat sulit untuk ditampik. Bermula dari keduanya tengah asyik bercerita tentang keinginan mereka.


Bertuturlah Dare Nadung kepada Kakandanya: "Kakanda Bujang Nadi. Demi bumi dan langit Adinda bersumpah, bahwa Adinda tidak akan menikah apabila tidak dengan seorang jejaka yang mirip seperti Kakanda."

Mendengar ucapan adiknya itu, terus berucap pulalah si Bujang Nadi: "Dare Nandung adikku, rembulan dan bulan boleh saja gerhana, tetapi tatapan mata Kakandamu ini, tidak akan pernah memberikan makna cinta untuk seorang perempuan yang berakhir dengan suatu perkawinan, jika perempuan itu, perilaku dan parasnya tidak seelok engkau, oh adikku."

Ikrar mereka berdua didengar dan disalahartikan oleh hulubalang istana, lantas melaporkan kepada raja. Mendengar laporan tersebut, Tan Unggal sangat marah. Kendatipun dengan berbagai alasan Bujang Nadi dan Dare Nandung menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi untuk meyakinkan ayahanda-nya. Tetapi, Tan Unggal tidak peduli dengan penjelasan kedua anaknya. Tanpa berpikir panjang, Tan Unggal pun menyuruh hulubalangnya untuk membawa kedua anaknya ke sebuah tempat yang jauh dari pusat kerajaan.

Bujang Nadi dan Dare Nandung hanya bisa pasrah menerima eksekusi mati (dikubur hidup-hidup) dari ayahanda-nya sebagai kepatuhan anak kepada ayahanda-nya. Kedua berpikir bahwa ini juga adalah sebuah takdir walaupun menjadi korban fitnah oleh hulubalangnya, tapi dimata rakyatnya kewibawaan ayahanda-nya sangat terhormat karena menegakkan hukum negara tanpa pandang bulu, kendatipun terhadap anak kandung sendiri.

Hingga sampailah mereka ke sebuah bukit yang tidak jauh letaknya dari Sungai Sambas Besar. Di atas bukit tesebut, keduanya lalu dikubur hidup-hidup bersama benda kesayangannya yaitu Bujang Nadi bersama ayam jantan kesayangannya, sedangkan Dare Nandung bersama alat tenun pemberian ayahanda-nya yang terbuat dari emas.

Danau Sebedang
Danau Sebedang

Oleh masyarakat Sambas, sebuah bukit tempat dikuburnya anak-anak Tan Unggal itu dikenal dengan Bukit Bujang Nadi dan Dare Nandung (Bukit Sebedang) dan menjadi salah destinasi wisata sejarah 'KERAMAT BUJANG NADI dan DARE NANDUNG'. Dewasa ini, Bukit Bujang Nadi dan Dare Nandung secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Sebawi, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat.

Sampai detik ini, kuburan Bujang Nadi dan Dare Nandung masih bisa kita jumpai di Sebedang. Konon, malam-malam tertentu masyarakat setempat sering mendengar suara ayam jantan berkokok sepanjang malam di keramat Bujang Nadi. Dan suara orang sedang menenun di keramat Dare Nandung.

Baca juga: CERITA RAKYAT SAMBAS: Legenda Raden Sandi Dan Kerajaan Batu Bejamban

Di sisi lain, Tan Unggal yang terkenal bengis dan kejam oleh rakyatnya menyesali perbuatannya. Sungguhpun begitu, ada pepatah orang-orang tua jaman dahulu, bahwa sebuas-buasnya harimau, ia tak akan memangsa anaknya sendiri. Itulah yang dialami Tan Unggal pasca dikubur hidup-hidup darah dagingnya sendiri.

Cerita Legenda Bujang Nadi dan Dare Nandung, banyak mengandung pesan moral. Berikut beberapa kandungan pesan dan nilai moral yang berhasil saya simpulkan dari cerita diatas, yaitu:
  • Rasa patuh anak kepada orang tua
  • Kasih sayang antara ayah dan anak
  • Kasih sayang adik dan kakak
  • Kewibawaan seorang pemimpin (siapapun yang salah harus dihukum)
  • Kesetiaan rakyat akan peraturan yang ada.

Pesan moral terpenting yang disisipkan dalam cerita di atas adalah FITNAH LEBIH KEJAM DARIPADA PEMBUNUHAN. Mudah-mudah artikel saya ini bisa bermanfaat, buat para pembaca silahkan share cerita ini, asalkan sumber artikelnya dicantumkan. Hargailah tulisan orang lain, minimal selalu menyisipkan sumber aslinya. Terima Kasih

7 komentar:

  1. sob request cerita dari kalsel dong, pasti seru
    yang ini juga seru

    BalasHapus
  2. Crta datok kullup anak ny tan unggal tak ad k ??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ade... nanti lah saye tulis dlm wkt dekat.

      insyaAllah

      Hapus
  3. Kemarin Main Ke Makam Bujang Nadi Dare Nandung Di atas Bukit sebedang lanjut ke Danau Sebedang mampir ke Bakso Vaforit... #Wong_Batang_Jateng

    BalasHapus

Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta

Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:

1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan

Diberdayakan oleh Blogger.