Kerajaan Wijayapura: Kerajaan Hindu di Utara Kalimantan Barat

misterpangalayo.com - Kepulauan Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Budha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan Timur Tengah. 

Sedangkan untuk Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa langsung oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.




Pada abad ke-7 di bagian utara Kalimantan Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Budha, yaitu kerajaan Wijayapura yang dilanjutkan Kerajaan Nek Riuh (13 M - 14 M), Kerajaan Tan Unggal (15 M), dan Panembahan Sambas pada abad 16 M. 

Keempat kerajaan tersebut murni bercorak Hindu-Budha, tapi masuknya agama Islam di Kalimantan Barat, Panembahan Sambas merupakan kerajaan terakhir di utara Kalimantan Barat. 

Setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama, berdirilah sebuah Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun 1671.

Kerajaan Wijayapura adalah kerajaan bercorak Hindu yang berdiri sekitar abad ke-7. Kerajaan ini terletak di sekitar muara Sungai Rejang (sekarang masuk dalam wilayah Sarawak-Malaysia). 

Sungai Rajang merupakan sungai yang terpanjang ke empat di Kalimantan dan sungai terpanjang di Malaysia. Panjangnya 563 km dari Banjaran Iran di tengah pulau Kalimantan ke Laut Cina Selatan di utara Kota Kuching.

Dewasa ini, Sungai Rajang  digunakan sebagai sarana transportasi sampai ke Kapit dengan memakai perahu-perahu dan kapal motor. Di lembah sungai Rajang, hidup berpuluh-puluh sub-suku bangsa pribumi Serawak yaitu suku Dayak.

Kerajaan Wijayapura juga dikenal dengan Kerajaan Sambas Kuno. Bukti kuat keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya benda-benda arkeologis berupa gerabah, patung dari masa Hindu, menurut perkiraan para ahli arkeologi, benda- benda itu berasal sekitar pada abad ke-6 M atau 7 M. 

Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia, sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura.

Selain itu juga ditemukan benda-benda arkeologis lainnya seperti gendang gangsa dari Dongson, manik-manik batu akik dari India, patung Budha emas Boddhisatvas, semuanya di lembah sungai Sambas Kalimantan Barat menunjukkan adanya bentuk pemerintahan perdagangan sezaman atau lebih awal dari pemerintahan Sriwijaya (Nik Hassan Suhaimi, p.c).

Arca-arca Buddha berbahan emas, perak, dan perunggu yang ditemukan di Kota Sambas di Kalimantan Barat yang kini menjadi koleksi British Museum di London, Inggris. Diperkerikan arca-arca ini adalah peninggalan dari Kerajaan Wijayapura, menurut perkiraan para ahli arkeologi, benda- benda itu berasal sekitar pada abad ke-6 M atau 7 M, sedangkan kerajaan Wijayapura berdiri pada abad ke-6 atau 7 M.

Archa-archa Buddha berbahan emas  ditemukan di dalam guci tembikar pada dekade 1940-an. Temuan ini kemudian dijual oleh penemunya, dan jatuh ke tangan Tan Yeok Seong, seorang kolektor dan sejarahwan Asia Tenggara warga Singapura. Harta karun ini kemudian dibeli oleh seorang filantropi PT Brooke Sewell, yang kemudian menyumbangkannya kepada British Museum pada 1956.

Temuan ini terdiri atas sembilan arca emas dan perak yang menggambarkan sosok Buddha dan Bodhisatwa. Arca terbesar berukuran sekitar tinggi 18 cm menggambarkan Buddha tengah berdiri terbuat dari perak murni. 

Selain arca-arca Buddha, harta karun ini juga mencakup pedupaan perunggu berbentuk rumah, dan plakat nazar perak bertuliskan "dhāraṇī", yang ditemukan di dasar arcfa Buddha. Kehalusan, keterampilan dan kualitas pengrajin patung, serta penggunaan logam mulia menunjukkan bahwa benda-benda ini aslinya dimiliki oleh seorang pembesar atau pejabat setempat, atau bangsawan penganut agama Buddha.

Sangat sedikit referensi yang secara jelas menyebutkan nama Kerajaan Wijayapura / Sambas Kuno. Tapi dengan beberapa penemuan benda-benda arkeologis menjadi tolak ukur awal untuk menggali informasi-informasi tentang Kerajaan Wijayapura.

Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja. 

Kerajaan Sriwijaya berdiri semasa dengan Kerajaan Wijayapura. Kerajaan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan bercorak Budha yang berdiri di Pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan (diperkirakan adalah Kerajaan Wijayapura). Kemaharajaan Sriwijaya telah wujud sejak 671 atau abad ke-6.

Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata (sampai ke pesisir wilayah Sambas, Kalimantan Barat).

Berdasarkan dari penemuan benda-benda arkeologis di wilayah kekuasaan Kerajaan Wijayapura itu dapat disimpulkan pula bahwa pada abad ke 6 dan 7 Masehi, Kerajaan Wijayapura / Sambas Kuno telah menjalin kerjasama pada waktu itu, serta menjalin hubungan dagang dan keagamaan dengan Kerajaan Sriwijaya.

Bukti otentik adalah Songket. Mengapa ada songket di Sambas? Mengapa ada juga songket di Semenanjung, Jambi, Minangkabau, Brunei,  Aceh? Songket- songket ini pasti ada kaitannya dengan sejarah kain songket nan keemasan dikaitkan dengan kegemilangan Sriwijaya, kemaharajaan niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi pada abad ke-7 hingga ke-13 di Sumatera. 

Kerajaan Wijayapura mendapat pengaruh budaya India ditandai munculnya kerajaan Wijayapura dengan pemakaian gelar Maharaja bagi pemimpin suatu kekerabatan (bubuhan) dan sekelompok orang lainnya yang bergabung dalam kepemimpinannya dalam kesatuan wilayah wanua (distrik), yang saling berseberangan dengan wanua-wanua tetangganya yang dihuni keluarga lainnya dengan dikepalai tetuanya sendiri. 

Gelar India Selatan warman (yang melindungi) dilekatkan pada penguasa wanua tersebut, yang kemudian memaksa wanua-wanua tetangganya membayar upeti berupa emas dan hasil alam yang laku diekspor. 

Klan-klan (bubuhan) mulai disatukan oleh suatu kekuatan politik yang memusat menjadi sebuah mandala (kerajaan) yang sebenarnya bukan tradisi Austronesia. Kerajaan awal ini sudah merupakan campuran kelompok yang datang dari beberapa daerah, tetapi di pedalaman bangsa Austronesia masih hidup dalam komunitas rumah panjang yang mandiri dan terpisah serta saling berperang untuk berburu kepala.

Note:
Artikel ini masih jauh dari kata sempurna dan saya akan terus mencari referensi dari berbagai sumber. Apabila ada kesalahan dalam artikel ini, saya mohon kritik dan sarannya. Semoga artikel yang saya tulis ini dari berbagai sumber bisa bermanfaat dikemudian hari. 

Berikut benda-benda arkeologis yang dipamerkan di British Museum, London:






referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Sambas
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sambas
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Wijayapura
http://indonesianhistory.info/map/states650.html?zoomview=1
https://id.wikipedia.org/wiki/Temuan_Sambas
http://www.melayu.us/2014/05/kerajaan-sambas-seabad-dengan-sriwijaya.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_pada_era_kerajaan_Hindu-Buddha
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kalimantan

3 komentar:

Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta

Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:

1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan

Diberdayakan oleh Blogger.